Mengarahkan Cita-Cita Hanya kepada Allah



Dalam kehidupan yang penuh dengan harapan, impian, dan cita-cita, manusia sering kali terjebak dalam mengejar sesuatu yang bersifat duniawi. Ia menaruh harapan pada harta, jabatan, pujian, atau pengakuan dari sesama. Ia membangun cita-cita yang tinggi, namun arahnya tidak tertuju kepada Allah. Padahal, dalam hikmah para arifin, dinyatakan bahwa janganlah cita-citamu tertuju kepada selain Allah, karena harapan seseorang tidak akan dapat melampaui Al-Karim, Yang Maha Pemurah. Kalimat ini bukan sekadar nasihat, melainkan panggilan untuk menyadari bahwa hanya Allah-lah yang layak menjadi tujuan utama dari segala cita-cita.

Cita-cita yang tertuju kepada selain Allah akan selalu terbatas. Ia dibatasi oleh waktu, oleh keadaan, dan oleh kemampuan manusia yang serba lemah. Bahkan ketika cita-cita itu tercapai, ia tidak memberikan kepuasan yang hakiki. Ada kekosongan yang tetap tinggal, ada kegelisahan yang tidak hilang, dan ada kerinduan yang tidak terjawab. Karena yang dicari bukanlah sumber kebahagiaan sejati, melainkan bayangan yang fana. Maka, mengarahkan cita-cita kepada selain Allah adalah bentuk keterikatan yang akan membawa kekecewaan.

Sebaliknya, ketika cita-cita tertuju kepada Allah, maka seluruh hidup menjadi bermakna. Setiap langkah menjadi ibadah, setiap usaha menjadi jalan menuju kedekatan, dan setiap harapan menjadi doa yang tulus. Allah adalah Al-Karim, Yang Maha Pemurah, yang tidak pernah mengecewakan hamba-Nya. Harapan kepada-Nya tidak akan sia-sia, karena Dia mengetahui isi hati, memahami kelemahan, dan menyambut dengan kasih sayang. Maka, cita-cita yang tertuju kepada Allah adalah cita-cita yang tidak akan meleset, tidak akan terbatas, dan tidak akan berakhir dengan kehampaan.

Mengarahkan cita-cita kepada Allah bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan. Seorang hamba tetap bekerja, tetap belajar, tetap berusaha, tetapi semua itu dilakukan dalam rangka mendekat kepada Allah. Ia tidak mencari dunia untuk dunia, tetapi untuk memperkuat penghambaan. Ia tidak mengejar kesuksesan untuk kebanggaan, tetapi untuk memperluas manfaat. Ia tidak berharap kepada makhluk, tetapi kepada Sang Pencipta makhluk. Maka, hidupnya menjadi ringan, karena ia tidak terbebani oleh tuntutan dunia, tetapi dipenuhi oleh harapan kepada Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari, mengarahkan cita-cita kepada Allah bisa diwujudkan dalam niat yang lurus, dalam amal yang ikhlas, dan dalam doa yang penuh harap. Seorang hamba bisa memulai harinya dengan niat untuk mencari ridha Allah, menjalani pekerjaannya dengan kesadaran bahwa Allah menyaksikan, dan menutup harinya dengan doa agar segala usahanya diterima sebagai ibadah. Ia tidak menilai keberhasilan dari ukuran dunia, tetapi dari kedekatan kepada Allah. Ia tidak merasa gagal ketika dunia tidak memberi, karena ia tahu bahwa Allah selalu memberi dengan cara-Nya sendiri.

Cita-cita yang tertuju kepada Allah juga melahirkan ketenangan. Seorang hamba tidak akan gelisah ketika harapannya belum terwujud, karena ia tahu bahwa Allah Maha Bijaksana. Ia tidak akan putus asa ketika jalan terasa sulit, karena ia tahu bahwa Allah Maha Kuasa. Ia tidak akan iri kepada orang lain, karena ia tahu bahwa setiap orang memiliki jalan masing-masing menuju Allah. Ia akan hidup dengan lapang dada, dengan hati yang bersih, dan dengan jiwa yang tenang. Karena ia tidak menggantungkan harapan pada sesuatu yang terbatas, tetapi pada Yang Maha Luas.

Inilah hikmah yang perlu direnungi oleh setiap jiwa yang sedang berjalan di dunia. Janganlah cita-citamu tertuju kepada selain Allah, karena harapan seseorang tidak akan dapat melampaui Al-Karim. Maka, arahkanlah seluruh harapan, impian, dan cita-cita kepada-Nya. Jadikanlah Allah sebagai tujuan, sebagai sandaran, dan sebagai cahaya yang menuntun setiap langkah. Karena hanya kepada-Nya, segala harapan akan menemukan jawaban, dan segala cita-cita akan menemukan makna yang sejati.

Komentar

Postingan Populer