Allah Ada, dan Tetap Sebagaimana Ada-Nya



Dalam kedalaman tauhid, terdapat satu pengakuan yang menjadi fondasi seluruh perjalanan ruhani: Allah ada, dan tidak ada sesuatu pun beserta-Nya. Kalimat ini bukan sekadar pernyataan metafisik, melainkan penegasan tentang keesaan, keabadian, dan kemutlakan wujud Allah. Ia menghapus segala bentuk keterikatan pada makhluk, membebaskan hati dari ilusi keberadaan selain-Nya, dan mengajak jiwa untuk menyaksikan bahwa segala sesuatu yang tampak hanyalah bayangan dari kehendak-Nya.

Allah ada sebelum segala sesuatu ada. Ia tidak didahului oleh ketiadaan, tidak dibatasi oleh waktu, dan tidak bergantung pada ruang. Keberadaan-Nya adalah keberadaan yang mutlak, tidak bergantung, dan tidak terpengaruh oleh apa pun. Ketika alam semesta belum tercipta, ketika waktu belum berjalan, dan ketika makhluk belum dikenal, Allah telah ada. Dan kini, setelah segala sesuatu tampak di hadapan kita, Allah tetap sebagaimana ada-Nya. Ia tidak berubah, tidak berkurang, dan tidak terpengaruh oleh ciptaan-Nya.

Pernyataan bahwa tidak ada sesuatu pun beserta-Nya adalah penegasan bahwa segala makhluk tidak memiliki wujud hakiki. Mereka ada karena diciptakan, karena diberi wujud, dan karena digerakkan oleh kehendak-Nya. Maka, keberadaan makhluk bukanlah keberadaan yang sejajar dengan Allah, tetapi keberadaan yang bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Dalam pandangan ini, segala sesuatu yang tampak menjadi tanda, bukan tujuan. Ia menjadi jalan untuk mengenal Allah, bukan penghalang untuk menyaksikan-Nya.

Ketika seorang hamba menyadari bahwa Allah tetap sebagaimana ada-Nya, maka ia akan hidup dalam kesadaran yang mendalam. Ia tidak akan tertipu oleh perubahan dunia, tidak akan terguncang oleh peristiwa, dan tidak akan terikat oleh makhluk. Ia akan melihat bahwa di balik segala gerak, ada kehendak Ilahi yang tetap. Ia akan menyaksikan bahwa di balik segala bentuk, ada wujud yang tidak berubah. Dan dalam penyaksian itu, ia akan menemukan ketenangan, karena ia bersandar pada yang tidak tergoyahkan.

Kesadaran ini juga melahirkan sikap ubudiyah yang sejati. Seorang hamba yang tahu bahwa Allah adalah satu-satunya yang benar-benar ada, akan tunduk sepenuhnya kepada-Nya. Ia tidak akan menyekutukan-Nya dengan makhluk, tidak akan menggantungkan harapan pada dunia, dan tidak akan menjadikan dirinya sebagai pusat. Ia akan hidup dalam penyerahan, dalam pengakuan, dan dalam cinta yang murni. Ia akan menjadikan Allah sebagai tujuan, sebagai sandaran, dan sebagai cahaya yang menuntun setiap langkah.

Dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran ini bisa diwujudkan dalam sikap zuhud, dalam keikhlasan, dan dalam keteguhan hati. Seorang hamba tidak akan terlalu bergembira dengan dunia, karena ia tahu bahwa dunia bukanlah tempat tinggal abadi. Ia tidak akan terlalu bersedih dengan kehilangan, karena ia tahu bahwa yang hakiki tidak pernah hilang. Ia tidak akan terlalu sibuk dengan urusan lahiriah, karena ia tahu bahwa yang paling penting adalah hubungan batin dengan Allah.

Inilah jalan tauhid yang murni. Jalan yang tidak hanya mengenal Allah sebagai pencipta, tetapi menyaksikan-Nya sebagai satu-satunya yang benar-benar ada. Jalan yang tidak hanya beribadah dengan tubuh, tetapi juga dengan hati yang menyatu. Jalan yang tidak hanya berjalan menuju-Nya, tetapi hidup bersama-Nya. Dan dalam jalan seperti ini, seorang hamba akan menemukan bahwa Allah ada, dan tidak ada sesuatu pun beserta-Nya. Dan kini, Dia tetap sebagaimana ada-Nya—tidak berubah, tidak tergantung, dan tidak terkurung oleh apa pun. Ia adalah Al-Haqq, Yang Maha Nyata, dan kepada-Nya segala sesuatu kembali.

Komentar

Postingan Populer