Utang Kopi dan Sepeda Pak RW



Di kampung Sukamaju, ada satu warung legendaris yang dikenal bukan karena makanannya, tapi karena daftar utangnya. Warung itu milik Bu Narti, janda tangguh yang hafal siapa saja yang pernah ngutang, bahkan sampai jenis gorengan yang diambil. Di dinding warung, tergantung buku utang tebal yang lebih mirip kitab sejarah kampung.

Suatu hari, datanglah Pak RW, bernama Pak Maman, dengan sepeda tuanya yang sudah lebih banyak tambalannya daripada cat aslinya. Ia duduk di bangku warung sambil mengeluh, “Bu Narti, kopi satu. Tapi utang dulu ya, gaji RW belum cair.”

Bu Narti hanya mengangguk, lalu menulis di buku utang: Pak RW – kopi hitam – utang ke-37 bulan ini. Pak Maman tersenyum malu, lalu mulai bercerita tentang masa mudanya yang katanya pernah jadi pemain bola, meski warga hanya pernah lihat dia main kelereng.

Tak lama kemudian, datang Mas Juki, pemuda kampung yang punya usaha rental kipas angin. Ia duduk sambil membawa kipas rusak. “Bu Narti, gorengan dua, teh manis satu. Tapi bayarnya nanti, kipas belum laku.”

Bu Narti menulis lagi: Mas Juki – tahu isi, pisang goreng, teh manis – utang ke-12 minggu ini. Buku utang makin tebal, tapi Bu Narti tetap tenang. Ia percaya, utang itu seperti cinta: kalau ditagih terlalu keras, bisa kabur.

Di pojok warung, duduklah Mbak Sari, guru TK yang terkenal karena suaranya yang bisa bikin anak-anak diam dalam tiga detik. Ia memesan kerupuk dan es jeruk, lalu berkata, “Bu Narti, saya bayar separuh dulu, sisanya minggu depan. Gaji guru TK datangnya kayak hujan bulan Juni.”

Bu Narti menulis: Mbak Sari – kerupuk, es jeruk – utang separuh. Di kampung itu, separuh utang dianggap sebagai bentuk niat baik. Bahkan ada pepatah lokal: “Lebih baik separuh utang daripada utang penuh tanpa kabar.”

Suatu hari, Bu Narti memutuskan untuk mengadakan lomba unik: Lomba Bayar Utang Tercepat. Hadiahnya sepeda tua Pak RW yang sudah ia titipkan di warung karena lupa bawa kunci. Warga pun heboh. Ada yang mulai menjual tanaman hias, ada yang menawarkan jasa pijat, bahkan ada yang rela menjual koleksi batu akik demi ikut lomba.

Pak RW panik. “Lho, itu sepeda saya, Bu Narti. Kok jadi hadiah?”

Bu Narti menjawab santai, “Kalau utang kopi sudah 37 kali, sepeda bisa dianggap jaminan.”

Lomba dimulai. Warga berbondong-bondong datang membawa uang receh, koin lima ratus, bahkan voucher pulsa. Mas Juki datang dengan membawa kipas angin yang sudah diperbaiki, berharap bisa ditukar dengan lunas utang. Mbak Sari membawa anak-anak TK yang menyanyikan lagu “Bayar Utang Bahagia” ciptaannya sendiri.

Akhirnya, pemenang lomba adalah Pak Udin, tukang tambal ban, yang membayar utangnya dengan satu karung pisang. Bu Narti menerima dengan senyum, lalu menyerahkan sepeda Pak RW kepadanya.

Pak RW hanya bisa pasrah. “Ya sudah, saya naik becak saja. Tapi becaknya juga utang.”

Komentar

Postingan Populer