Tuan Leko dan Sepeda Bambu dari Ende
Di sebuah kampung kecil di lereng Gunung Meja, Ende, hiduplah seorang tukang kayu tua bernama Tuan Leko. Ia terkenal bukan karena hasil ukirannya, tapi karena sepeda bambu ciptaannya yang katanya bisa “bernyanyi kalau diajak jalan pagi.”
Sepeda itu dibuat dari bambu petung, dengan roda bekas gerobak dan sadel dari anyaman daun lontar. Warga kampung menyebutnya “Sepeda Goyang Flores” karena kalau dikayuh, bunyinya seperti irama gendang Manggarai: tok-tok-tok... krak-krak... tok!
Suatu pagi, Tuan Leko hendak pergi ke pasar Wolowaru. Ia naik sepeda bambunya dengan penuh semangat, mengenakan sarung tenun ikat dan topi jerami yang miring ke kiri. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Mama Ria, penjual ikan yang sedang menjemur teri.
“Mau ke mana, Tuan?” tanya Mama Ria.
“Ke pasar, mau jual sepeda bambu. Katanya cocok buat orang yang suka olahraga tapi malas beli bensin,” jawab Tuan Leko.
Tiba-tiba, sepeda bambu itu mengeluarkan suara nyaring: krakkk! dan berhenti mendadak.
“Waduh, dia ngambek. Mungkin dia dengar saya mau jual,” kata Tuan Leko sambil menepuk-nepuk setangnya.
Datanglah Bapa Nando, guru SD yang suka ngasih komentar filosofis.
“Tuan, mungkin sepeda itu punya jiwa. Dia tidak mau dijual, dia ingin jadi legenda.”
Tuan Leko mengangguk. “Benar juga. Sepeda ini sudah ikut saya ke pesta panen, ke gereja, bahkan ke acara lamaran anak tetangga. Dia lebih setia dari mantan saya.”
Warga kampung pun tertawa.



Komentar
Posting Komentar