Telolet Terakhir Pak Darto



Di kampung Cikuruy Tengah, suara telolet bukan sekadar bunyi klakson, tapi simbol kebahagiaan, harapan, dan kadang-kadang, gangguan tidur siang. Kampung itu berada di jalur bus antar kota, dan setiap sore, anak-anak akan berjejer di pinggir jalan sambil berteriak, “Om telolet om!” meski yang lewat kadang truk pasir atau sepeda motor mogok.

Tokoh utama dalam kisah ini adalah Pak Darto, pensiunan guru matematika yang tinggal persis di depan tikungan tempat bus suka membunyikan telolet. Ia dikenal sebagai orang paling anti suara keras, terutama sejak kipas anginnya rusak dan ia harus tidur dengan teknik meditasi diam total.

Suatu sore, saat Pak Darto sedang rebahan sambil menghitung jumlah genteng rumah tetangga, terdengar suara “TELOLET! TELOLET! TELOLET!” dari bus yang lewat. Ia bangkit dengan wajah bingung dan rambut berdiri. “Ini kampung atau konser klakson?” katanya sambil mencari sandal.

Anak-anak tertawa. Mereka menganggap Pak Darto sebagai bagian dari tontonan. “Kalau Pak Darto keluar rumah sambil ngomel, itu tandanya busnya bagus,” kata Beni, bocah SD yang punya koleksi video telolet.

Pak Darto memutuskan untuk mengadakan rapat warga. Ia berdiri di balai desa dengan membawa spanduk bertuliskan “Stop Telolet, Mulai Diam.” Tapi warga tidak setuju. Bu Narti, ketua PKK, berkata, “Telolet itu hiburan murah. Daripada anak-anak main petasan, mending teriak ke bus.”

Pak RW mencoba menengahi. “Kita bisa kompromi. Telolet hanya boleh jam tiga sampai lima sore. Di luar itu, klakson harus sopan.”

Pak Darto tidak puas. Ia mulai melakukan aksi diam: duduk di pinggir jalan dengan papan bertuliskan “Telinga Butuh Damai.” Tapi sopir bus malah membunyikan telolet lebih panjang, mengira itu bagian dari festival.

Suatu hari, Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten, mengajak Pak Darto membuat video edukasi tentang bahaya telolet bagi ketenangan jiwa. Tapi saat syuting, bus lewat dan telolet berbunyi, membuat Pak Darto spontan berkata, “Teloletnya bagus juga sih, kalau nadanya pas.”

Video itu viral. Judulnya: “Pak Darto dan Telolet yang Mengubah Hati.” Warga mulai melihat sisi lain dari Pak Darto. Ia diundang ke acara tujuhbelasan untuk menjadi juri lomba bunyi telolet terbaik. Ia datang dengan headset dan ekspresi pasrah.

Lomba dimulai. Bus-bus lewat satu per satu, membunyikan telolet dengan berbagai gaya: ada yang mirip lagu dangdut, ada yang seperti suara ayam, bahkan ada yang menyerupai ringtone ponsel. Pak Darto mencatat semuanya dengan serius.

Pemenangnya adalah bus dari jurusan Cikampek yang membunyikan telolet dengan irama “Balonku Ada Lima.” Pak Darto berdiri dan berkata, “Saya menyerah. Telolet ini bukan gangguan, ini seni.”

Sejak itu, Pak Darto berubah. Ia mulai mengoleksi rekaman telolet, membuat analisis matematis tentang panjang bunyi dan efeknya terhadap emosi. Ia bahkan membuat seminar kecil berjudul “Telolet dan Logika Kehidupan.”

Dan di kampung Cikuruy Tengah, telolet bukan lagi sekadar klakson. Ia jadi bagian dari budaya, dari tawa, dan dari perubahan hati seorang pensiunan guru yang akhirnya menerima bahwa kadang, kebisingan bisa membawa kebahagiaan, asal nadanya pas dan tidak mengganggu meditasi tidur siang.

Komentar

Postingan Populer