Syukuri Rezekimu Hari Ini



Hidup manusia selalu bergerak dalam lingkaran kebutuhan dan pemenuhannya. Sejak awal peradaban, manusia bekerja untuk makan, dan makan untuk bekerja. Dua hal ini tidak pernah bisa dipisahkan, meski urutannya sering kali berbeda. Ada orang yang makan dulu sebelum ia bekerja, karena ia memiliki kesempatan, waktu, dan sumber daya untuk melakukannya. Ada pula orang yang harus bekerja dulu baru ia bisa makan, karena hanya dengan bekerja ia memperoleh hak untuk mengisi perutnya. Perbedaan sederhana ini, jika direnungkan lebih dalam, membuka jalan bagi kita untuk memahami hakikat rezeki, syukur, dan makna hidup.

Dalam filsafat eksistensialis, manusia dipahami sebagai makhluk yang dilemparkan ke dunia tanpa pilihan awal, tetapi diberi kebebasan untuk menentukan makna hidupnya. Jean-Paul Sartre menyebut manusia sebagai makhluk yang “eksistensinya mendahului esensinya.” Artinya, manusia tidak lahir dengan makna yang sudah ditentukan, melainkan harus menciptakan makna itu melalui pilihan-pilihan hidupnya. Maka, makan atau bekerja bukan sekadar rutinitas, melainkan tindakan yang sarat makna. Orang yang makan dulu sebelum bekerja sedang menegaskan kebebasannya untuk menikmati hidup sebelum menunaikan kewajiban. Orang yang bekerja dulu baru bisa makan sedang menegaskan tanggung jawabnya untuk berjuang demi kelangsungan hidup. Dalam kedua situasi itu, manusia sedang berhadapan dengan absurditas hidup: kenyataan bahwa hidup sering kali tidak sesuai dengan harapan, tetapi tetap harus dijalani dengan kesadaran penuh.

Albert Camus, filsuf eksistensialis lain, berbicara tentang absurditas melalui mitos Sisyphus. Sisyphus dihukum untuk mendorong batu besar ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang tanpa akhir. Hidup manusia, dalam pandangan Camus, sering kali terasa seperti itu: bekerja tanpa henti, makan untuk bertahan, lalu bekerja lagi. Namun, Camus menekankan bahwa manusia bisa menemukan makna justru dalam menerima absurditas itu. Dengan kesadaran, manusia bisa berkata: “Ya, hidup memang berat, tetapi aku memilih untuk menjalaninya.” Dalam konteks ini, syukur bukan sekadar ucapan, melainkan sikap eksistensial: menerima hidup apa adanya, dengan segala keterbatasan dan absurditasnya, sambil tetap memilih untuk hidup dengan bermakna.

Sementara itu, dalam tradisi sufistik, rezeki dipandang bukan hanya sebagai hasil usaha manusia, melainkan juga sebagai pemberian Ilahi. Seorang sufi melihat makanan di meja bukan hanya sebagai hasil kerja keras, tetapi juga sebagai tanda kasih sayang Tuhan. Seorang sufi melihat pekerjaan bukan hanya sebagai kewajiban sosial, tetapi juga sebagai ibadah. Dalam pandangan sufistik, syukur bukan hanya kesadaran intelektual, melainkan juga pengalaman spiritual: merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap rezeki, sekecil apapun itu. Jalaluddin Rumi pernah menulis bahwa setiap roti yang kita makan adalah hasil dari perjalanan panjang: biji yang ditanam, hujan yang turun, tanah yang subur, petani yang bekerja, pedagang yang menjual, dan akhirnya tangan yang menyajikan. Semua itu adalah rantai kasih sayang Tuhan yang bekerja melalui manusia dan alam. Maka, ketika seorang sufi makan, ia tidak hanya mengisi perut, tetapi juga merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap suapan.

Fenomenologi, di sisi lain, mengajak kita untuk kembali pada pengalaman langsung. Edmund Husserl menekankan pentingnya “kembali ke benda itu sendiri,” yaitu kembali pada pengalaman sebagaimana ia hadir dalam kesadaran kita. Makan, bekerja, dan bersyukur bukan hanya konsep, melainkan pengalaman tubuhiah yang konkret. Seorang petani yang makan nasi hangat setelah bekerja di sawah tidak hanya “mengisi perut.” Ia merasakan aroma nasi yang mengepul, rasa asin dan gurih yang menyentuh lidah, rasa lega yang menjalar ke seluruh tubuh ketika lapar terjawab. Dalam pengalaman itu, tubuh, pikiran, dan dunia saling terhubung. Makan, dalam arti fenomenologis, adalah pengalaman keterhubungan total antara manusia, tubuh, alam, dan makna.

Jika kita gabungkan ketiga perspektif ini, kita akan melihat bahwa syukur memiliki dimensi yang sangat kaya. Secara eksistensial, syukur adalah kesadaran bahwa hidup ini absurd, tetapi kita tetap memilih untuk menjalaninya dengan bermakna. Secara sufistik, syukur adalah kesadaran bahwa hidup ini adalah anugerah, dan kita merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap detailnya. Secara fenomenologis, syukur adalah kesadaran bahwa hidup ini dialami melalui tubuh, indera, dan dunia, dan bahwa setiap pengalaman baik itu makan, bekerja, beristirahat adalah kesempatan untuk merasakan keterhubungan dengan realitas yang lebih luas.

Mari kita lihat contoh konkret. Seorang buruh harian di kota besar bangun pagi, berangkat kerja tanpa sarapan, dan baru bisa makan setelah menerima upah harian. Dari luar, hidupnya tampak keras dan melelahkan. Namun, jika ia menjalani hidup dengan kesadaran eksistensial, ia bisa menemukan makna dalam perjuangannya. Ia bisa berkata pada dirinya sendiri: “Aku memilih untuk bekerja, karena dengan ini aku memberi makan keluargaku. Hidupku mungkin berat, tetapi aku tidak menyerah.” Dalam kesadaran itu, ia menemukan martabat. Seorang petani di desa, sebaliknya, bangun pagi, berdoa, lalu makan singkong rebus sebelum pergi ke sawah. Ia tahu bahwa singkong itu sederhana, tetapi ia merasakannya sebagai rezeki yang penuh berkah. Ia bekerja di sawah bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai bentuk ibadah: merawat bumi yang dititipkan Tuhan. Ketika panen tiba, ia bersyukur bukan hanya karena ada hasil, tetapi juga karena ia merasa menjadi bagian dari alur kasih sayang Tuhan yang menghidupi banyak orang. Seorang mahasiswa di kota besar duduk di kantin kampus, memesan sepiring nasi goreng. Jika ia berhenti sejenak dan merasakannya secara fenomenologis, ia akan menyadari banyak hal: aroma bawang putih yang ditumis, suara sendok yang beradu dengan piring, rasa pedas yang membuat tubuh hangat, tawa teman-teman di sekitarnya, cahaya matahari yang masuk dari jendela. Semua itu membentuk pengalaman makan yang utuh. Jika ia menambahkan kesadaran sufistik, ia akan melihat bahwa nasi goreng itu adalah rezeki dari Tuhan, yang hadir melalui tangan koki, melalui beras yang ditanam petani, melalui minyak yang diproduksi dari kelapa sawit, melalui garam yang diambil dari laut. Jika ia menambahkan kesadaran eksistensialis, ia akan menyadari bahwa ia bebas untuk memilih bagaimana ia memaknai pengalaman itu: apakah sekadar rutinitas, ataukah momen untuk bersyukur dan merasakan hidup.

Dengan cara ini, syukur tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan sebagai pengalaman yang konkret, tubuhiah, dan spiritual sekaligus. Syukur adalah ketika kita merasakan nasi hangat di lidah, lalu menyadari bahwa itu adalah anugerah. Syukur adalah ketika kita merasakan lelah di tubuh setelah bekerja, lalu menyadari bahwa itu adalah tanda bahwa kita masih hidup dan mampu berjuang. Syukur adalah ketika kita merasakan tawa anak-anak, lalu menyadari bahwa itu adalah kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Maka, syukuri rezekimu hari ini. Syukuri makanan yang ada, pekerjaan yang menanti, keluarga yang mendukung, kesehatan yang memungkinkanmu bergerak, dan kesempatan yang membawamu sampai di titik ini. Syukuri juga tantangan, kesulitan, dan keterbatasan, karena semua itu membentuk dirimu menjadi manusia yang lebih sadar, lebih rendah hati, dan lebih dekat dengan Tuhan. Jangan lupa, di luar sana ada banyak orang yang bermimpi bisa menjalani hidup senyaman dirimu.

Komentar

Postingan Populer