Sendawa Berantai di Rapat Warga
Di kampung Sindangsari, rapat warga adalah acara yang paling ditunggu sekaligus paling dihindari. Ditunggu karena ada gorengan gratis, dihindari karena Pak RW suka pidato panjang yang bisa bikin sandal kepanasan. Tapi suatu hari, rapat warga berubah jadi pertunjukan tak terduga gara-gara satu hal yaitu sendawa.
Kejadian bermula saat Pak RW, yang bernama Pak Maman, membuka rapat dengan gaya khasnya: berdiri tegak, batuk kecil, lalu berkata, “Warga sekalian, hari ini kita akan membahas masalah saluran air dan kebersihan lingkungan.” Baru dua kalimat, tiba-tiba terdengar suara “Buuurrrppp” dari barisan belakang.
Semua menoleh. Di sana duduk Pak Darto, pensiunan guru SD yang terkenal disiplin tapi punya kebiasaan minum es kelapa sebelum rapat. Ia menunduk malu, lalu berkata, “Maaf, itu sendawa ilmiah. Tanda pencernaan sehat.”
Pak RW terdiam. Bu Narti, ketua PKK, mencoba menenangkan suasana dengan berkata, “Tenang saja, sendawa itu manusiawi. Yang penting jangan sambil nyanyi.”
Rapat dilanjutkan. Tapi lima menit kemudian, terdengar lagi suara “Buuurrrppp,” kali ini dari arah kiri. Ternyata Mas Juki, pemuda kampung yang baru saja makan tahu petis. Ia tersenyum canggung, “Maaf, tahu petisnya terlalu jujur.”
Pak RW mulai gelisah. “Warga sekalian, mari kita fokus. Sendawa bukan bagian dari agenda rapat.”
Tiba-tiba, suara sendawa ketiga muncul, lebih panjang dan bergetar. Semua menoleh ke Bu Jum, penjual jamu, yang sedang mengaduk botol jamu kunyit asem. Ia berkata santai, “Kalau jamu nggak bikin sendawa, berarti palsu.”
Suasana mulai kacau. Anak-anak tertawa, Pak Darto mulai mencatat jenis sendawa di buku kecilnya, dan Mas Juki mengusulkan lomba “Sendawa Terindah.” Pak RW mencoba mengembalikan fokus, tapi setiap kali ia bicara, ada saja yang menyela dengan suara “Buuurrrppp.”
Akhirnya, Pak RW menyerah. Ia duduk dan berkata, “Baiklah, kita ubah agenda rapat. Hari ini kita bahas etika sendawa.”
Bu Narti langsung angkat tangan. “Saya usul, kalau mau sendawa, tutup mulut pakai daun pisang. Lebih ramah lingkungan.”
Pak Darto menambahkan, “Sendawa bisa diklasifikasikan: sendawa ringan, sendawa berat, dan sendawa reflektif. Yang terakhir biasanya muncul saat mendengar kabar utang.”
Mas Juki mulai merekam. “Ini konten bagus. Judulnya: ‘Sendawa Demokratis di Balai Desa.’”
Rapat berubah jadi forum terbuka. Warga berbagi pengalaman sendawa: Pak Udin pernah sendawa di acara lamaran, Bu Jum pernah sendawa saat baca doa, dan Beni, bocah SD, mengaku bisa sendawa sambil mengeja alfabet.
Pak RW akhirnya tertawa. “Baiklah, saya akui. Sendawa hari ini lebih jujur daripada laporan keuangan RT.”
Sejak itu, kampung Sindangsari punya tradisi baru: setiap rapat warga, disediakan teh manis dan tahu petis, agar sendawa bisa muncul dengan elegan. Dan di sana, sendawa bukan lagi gangguan, tapi bagian dari dialog. Karena di kampung itu, suara perut kadang lebih jujur daripada suara hati.



Komentar
Posting Komentar