Seblak Pedas Buatan Bu RT




Di sebuah kampung bernama Kampung Cibebek, yang terkenal bukan karena prestasi warganya, melainkan karena suara kentongan ronda yang selalu telat dua jam, hiduplah seorang ibu RT bernama Bu Sumarni. Bu RT ini punya satu keahlian yang membuat seluruh warga kampung waspada: memasak seblak pedas level neraka.

Seblak buatan Bu RT bukan sembarang seblak. Ia punya resep rahasia yang katanya diwariskan dari nenek moyangnya yang dulu pernah jadi juru masak pasukan perang zaman penjajahan. Konon, satu sendok seblaknya bisa bikin tentara Belanda lari ke sungai sambil nyanyi lagu dangdut.

Suatu hari, Bu RT mengadakan lomba makan seblak pedas di balai RW. Hadiahnya bukan main: satu karung kerupuk mentah dan voucher pijat gratis dari Pak RW yang baru belajar pijat lewat YouTube.

Peserta lomba pun berdatangan. Ada Mang Ujang, tukang tambal ban yang lidahnya sudah kebal karena tiap hari ngopi pakai cabe rawit. Ada juga Teh Rini, janda muda yang katanya bisa makan sambal 10 sendok tanpa minum. Dan tentu saja, ada Deden, anak muda yang baru pulang dari kota dan merasa dirinya paling tahan pedas karena pernah makan ramen level 5 di mall.

Bu RT mulai menyajikan seblaknya. Aroma kencur, bawang putih, dan cabe setan menyatu dalam wajan besar yang sudah gosong di bagian bawah. Warga yang tidak ikut lomba hanya berani mencium dari jarak aman, sambil siap-siap membawa galon air.

Lomba dimulai. Mang Ujang langsung menyendok besar-besar. Baru lima suapan, matanya mulai berair, bukan karena pedas, tapi karena teringat mantan yang dulu suka masak seblak juga. Teh Rini masih tenang, tapi mulai berkeringat seperti habis lari keliling kampung. Deden, yang penuh percaya diri, malah live di media sosial sambil berkata, “Gampang ini mah!”

Lima menit kemudian, suasana berubah. Mang Ujang mulai bicara bahasa Sunda campur Jawa, Teh Rini minta disemprot pakai selang, dan Deden... Deden hilang dari kamera. Rupanya dia lari ke warung sebelah, beli es kelapa dan minta disiram pakai air kolam ikan.

Bu RT tetap tenang, sambil mengaduk seblak tambahan untuk ronde kedua. Tapi warga mulai gelisah. Pak RW yang tadinya jadi juri, tiba-tiba ikut lomba karena katanya “daripada nonton, mending ikut merasakan penderitaan bersama.”

Akhirnya, lomba dihentikan bukan karena ada pemenang, tapi karena semua peserta minta dibawa ke posyandu untuk dicek tekanan darah. Bu RT tetap bangga, katanya, “Seblak ini bukan sekadar makanan, ini ujian hidup.”

Sejak hari itu, seblak Bu RT jadi legenda. Anak-anak muda yang baru pindah ke kampung selalu ditantang makan seblak itu sebagai syarat diterima jadi warga. Dan setiap kali ada tamu dari luar kota, warga selalu berkata, “Kalau mau tahu rasa hidup yang sesungguhnya, coba seblak Bu RT.”

Begitulah kisah seblak pedas yang bukan hanya membakar lidah, tapi juga membakar kenangan, harapan, dan kadang-kadang, sandal jepit yang dipakai lari ke sungai. 

Komentar

Postingan Populer