Sarapan Terakhir di Warung Bu Narti



Di kampung Cibebek Kulon, sarapan bukan sekadar makan pagi, tapi ritual sosial, ajang debat ringan, dan kadang-kadang tempat warga menyusun strategi menghadapi utang. Pusat dari semua kegiatan ini adalah warung Bu Narti, yang buka setiap hari pukul enam pagi, kecuali kalau ayamnya mogok bertelur.

Bu Narti menjual menu sarapan khas kampung: nasi uduk, lontong sayur, bubur ayam yang kadang lebih mirip sup, dan teh manis yang manisnya bisa bikin orang lupa mantan. Tapi yang paling legendaris adalah gorengan: tempe, tahu, dan pisang molen yang bentuknya tidak konsisten, kadang mirip sandal anak-anak.

Tokoh utama dalam kisah ini adalah Pak Darto, pensiunan guru yang punya kebiasaan datang ke warung setiap pagi, duduk di kursi plastik pojok, dan memesan “sarapan komplit tapi jangan terlalu kenyang.” Permintaan itu selalu membingungkan Bu Narti. “Pak, kalau komplit tapi nggak kenyang, itu namanya angin.”

Suatu pagi, terjadi insiden besar. Pak Darto datang lebih awal dari biasanya, mengenakan baju batik dan peci miring. Ia duduk, memesan bubur ayam tanpa kuah, teh manis tanpa gula, dan gorengan tanpa minyak. Bu Narti bingung. “Pak, ini warung, bukan laboratorium diet.”

Pak Darto menjelaskan bahwa ia sedang menjalani “program kesadaran sarapan.” Katanya, makan pagi harus penuh makna, bukan sekadar kenyang. Ia mulai mengajak warga berdiskusi tentang filosofi sarapan. Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten, langsung merekam. “Judulnya: Sarapan dan Kesadaran Spiritual.”

Warga mulai tertarik. Bu Jum, penjual jamu, bertanya, “Kalau saya sarapan jamu dan kerupuk, itu termasuk makna atau hanya lapar?” Pak Darto menjawab, “Itu makna yang renyah.”

Pak RW datang, penasaran. Ia duduk dan memesan kopi hitam dan pisang goreng. Tapi saat menggigit pisang, giginya tersangkut karena pisangnya terlalu matang. “Bu Narti, ini pisang atau batu bata?” Bu Narti menjawab, “Itu pisang yang sudah melewati masa kontemplasi.”

Sarapan di warung Bu Narti berubah jadi acara rutin. Warga berdiskusi sambil makan, membahas topik-topik berat seperti kenapa nasi uduk lebih cocok dimakan pakai tangan, atau apakah teh manis bisa menyembuhkan patah hati. Pak Darto jadi moderator, kadang-kadang menyisipkan puisi pendek tentang tahu isi.

Suatu hari, datang tamu dari kecamatan: Pak Camat dan rombongan. Mereka ingin melihat “warung sarapan filosofis” yang katanya viral. Pak Camat duduk, memesan bubur ayam, lalu bertanya, “Apa makna dari bubur yang sudah diaduk?”

Pak Darto menjawab, “Itu simbol kehidupan. Semua rasa bercampur, tidak bisa dipisahkan, tapi tetap bisa dinikmati.”

Bu Narti menambahkan, “Asal jangan ditambah sambal terlalu banyak, nanti hidupnya kepedesan.”

Pak Camat terkesan. Ia mengusulkan agar warung Bu Narti dijadikan tempat wisata kuliner spiritual. Tapi Bu Narti menolak. “Saya cuma jual sarapan. Kalau jadi wisata, nanti gorengan saya difoto terus, nggak dimakan.”

Dan di kampung Cibebek Kulon, sarapan bukan lagi urusan perut semata. Ia jadi ruang tawa, ruang renung, dan kadang-kadang ruang debat ringan tentang kenapa tahu isi lebih cepat habis daripada tempe. Karena di sana, pagi dimulai bukan dengan alarm, tapi dengan suara sendok, tawa warga, dan filosofi yang muncul dari bubur yang terlalu encer.

Komentar

Postingan Populer