Saat Moralitas Memerlukan Bantuan Hukum

Moralitas pada dasarnya berangkat dari anggapan bahwa manusia memiliki kebijaksanaan yang cukup untuk tidak melakukan kesalahan. Ia diasumsikan mampu membedakan antara yang baik dan buruk, serta memiliki kehendak untuk memilih yang benar. Namun dalam kenyataan, tidak semua kesalahan lahir dari niat jahat. Ada kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, kekeliruan dalam memahami, atau ketidakbijaksanaan. Dalam kasus seperti ini, moralitas sendiri tidak cukup untuk mencegah pelanggaran. Di sinilah hukum hadir sebagai penopang.

Ketika seseorang melakukan kesalahan yang berkaitan dengan kewajiban terhadap dirinya sendiri, kesalahan itu sering kali bukan karena ia sengaja melanggar, melainkan karena ia keliru dalam memahami. Ia tidak berniat jahat, tetapi ia tersesat oleh penilaian yang salah. Dalam istilah moral, ini disebut sebagai ketidakbijaksanaan. Ia tidak kurang kehendak, tetapi kurang pengertian. Maka, kesalahan semacam ini tidak bisa diperlakukan sama dengan kejahatan yang lahir dari niat buruk.

Jika seorang pembuat undang-undang mencoba mencegah kesalahan semacam itu dengan membuat hukum yang sangat ketat, maka ia justru berisiko menciptakan lebih banyak keburukan. Hukum yang terlalu keras terhadap kesalahan yang lahir dari ketidakbijaksanaan akan menimbulkan ketakutan, kepura-puraan, atau bahkan pemberontakan moral. Ia akan memperlakukan semua pelanggaran seolah-olah berasal dari niat jahat, padahal tidak semua demikian. Akibatnya, hukum kehilangan kepekaan terhadap kompleksitas manusia dan justru menciptakan lebih banyak pelanggaran.

Dalam situasi seperti ini, hukuman ringan lebih tepat diberikan. Hukuman ringan bukan untuk membalas, melainkan untuk membangkitkan kesadaran sosial. Ia menjadi pemicu bagi sanksi populer—teguran dari masyarakat, rasa malu, atau penyesalan yang tumbuh dari dalam diri pelaku. Hukuman ringan memberi ruang bagi pendidikan moral, bukan sekadar penegakan hukum. Ia mengakui bahwa manusia bisa salah karena tidak tahu, bukan karena tidak peduli.

Hukum yang baik adalah hukum yang tahu kapan harus tegas dan kapan harus memberi kesempatan untuk belajar. Ia tidak menggantikan moralitas, tetapi membantu moralitas menjalankan tugasnya dalam masyarakat yang kompleks. Ia hadir ketika kebijaksanaan manusia tidak cukup untuk mencegah kesalahan, tetapi ia harus hadir dengan proporsionalitas dan kebijaksanaan yang sama.

Dalam dunia yang terus berubah, di mana nilai-nilai sering kali dipertanyakan, hukum tidak boleh menjadi alat pemaksaan semata. Ia harus menjadi cermin dari kebijaksanaan kolektif, yang memahami bahwa kesalahan manusia tidak selalu lahir dari niat buruk. Ketika moralitas tersandung oleh ketidakbijaksanaan, hukum hadir untuk menopang, bukan untuk menghukum secara membabi buta. Ia menjadi pengingat bahwa keadilan sejati adalah keadilan yang mengenali kelemahan manusia, dan memberi ruang bagi pemulihan, bukan sekadar pembalasan.

Komentar

Postingan Populer