Ridho Allah Menjadi Sumber Kemungkinan Ketika Perhitungan Manusia Gagal
Sering kali kita merancang, menjumlah, dan menakar setiap langkah dengan teliti. Kita menghitung risiko, menyusun anggaran, dan menetapkan target dengan keyakinan penuh. Namun kenyataannya, angka-angka itu sering tak berpihak pada kita. Saat perhitungan manusia tak kunjung membuahkan hasil, terselip kekosongan yang tak terjawab oleh logika semata.
Kekosongan itu seakan menjadi pintu terbuka bagi kesadaran baru: bahwa kemampuan dan nalar kita memiliki batas. Kita lupa bahwa di balik akal sehat dan strategi jitu, ada dimensi yang tak terlihat, yang menuntun hidup jauh melampaui lembar angka. Di situlah letak keagungan ridho Ilahi, yang memampukan setiap usaha dengan berkah dan anugerah.
Ridho Allah bukan sekadar kata retoris dalam doa. Ia adalah kekuatan transformasi yang membalik keadaan, mendatangkan pintu-pintu rezeki yang tak terpikirkan, dan menumbuhkan harapan di tengah ketidakmungkinan. Ketika nurani berbisik agar kita berserah, mata hati akan terkuak pada kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terlihat.
Tawakkul adalah jembatan antara ikhtiar manusia dan ridho Ilahi. Dengan segenap usaha kita menjalankan kewajiban dan tanggung jawab, berserah bukan berarti pasif. Sebaliknya, ia menuntut keberanian untuk melangkah tanpa rasa takut akan kegagalan, karena keyakinan bahwa Allah mengatur sebaik-baiknya bagi hamba-Nya yang beriman.
Setiap kisah dalam sejarah umat menggambarkan bagaimana ridho Allah melimpah di kala manusia merasa kehabisan akal. Ketika Nabi Ibrahim membelah lautan rintangan, ia hanya berbekal doa dan keyakinan, hingga Allah menggerakkan angin dan ombak. Ketika kaum Muhajirin kehilangan tempat berlindung, Allah menjanjikan surga di balik setiap kesabaran.
Praktik harian tawakkul mengajarkan kita untuk merefleksikan niat, memurnikan doa, dan menjaga konsistensi ibadah. Ketika langkah terasa berat, sujud terakhir dalam salat atau sedekah paling sederhana bisa menjadi pembuka jalan. Itulah titik di mana perhitungan manusia menyerah, tetapi rahmat Ilahi menjawab.
Menggenggam ridho Allah butuh kerelaan melepaskan gagasan tentang pengendalian total. Kita belajar menghormati proses, meski hasilnya tak sesuai agenda. Ada kedamaian unik yang datang ketika iman menguat, menyadarkan bahwa sesungguhnya takdir kita terukir dalam kasih sayang-Nya.
Di tengah kegelisahan akan angka-angka yang tak berpihak, kita dipanggil untuk menengadahkan hati. Mari gunakan perhitungan sebagai alat, bukan tujuan akhir. Ketika peluang seakan menjauh, jangan berhenti berdoa, memperbaiki niat, dan menyempurnakan ikhtiar.
Akhirnya, perhitungan manusia yang tak sempurna mengantarkan kita pada satu pilihan: terus bersandar pada hasil logika, atau meneguhkan hati pada ridho Allah. Pilihan itu bukan semata soal menang atau kalah, melainkan tentang merasakan kehadiran Ilahi dalam setiap detik kehidupan. Dengan ridho-Nya, setiap kegagalan kita tak pernah sia-sia.



Komentar
Posting Komentar