Prinsip Arbitrer dalam Penilaian Moral dan Legislasi

Prinsip arbitrer, yang juga dikenal sebagai prinsip simpati dan antipati, merupakan pendekatan dalam penilaian moral dan hukum yang didasarkan semata-mata pada perasaan pribadi. Dalam prinsip ini, suatu tindakan atau kebijakan disetujui atau disalahkan bukan karena alasan rasional atau pertimbangan etis yang mendalam, melainkan karena kecenderungan emosional individu yang menilai. Penilaian tersebut tidak disertai dengan argumen atau dasar yang objektif, melainkan hanya bersandar pada keputusan itu sendiri.

Prinsip ini berakar pada ungkapan “aku suka” dan “aku benci.” Artinya, suatu tindakan dianggap baik atau buruk karena menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi orang yang menilainya. Dalam kerangka ini, individu yang menilai menempatkan dirinya sebagai otoritas tertinggi, tanpa membuka ruang untuk banding atau diskusi lebih lanjut. Ia menetapkan penilaian berdasarkan perasaan pribadi, bukan berdasarkan kebajikan, keadilan, atau prinsip moral yang universal.

Dalam praktiknya, prinsip arbitrer dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam kehidupan sosial dan sistem hukum. Ketika penilaian terhadap tindakan hanya didasarkan pada simpati atau antipati, maka objektivitas dan konsistensi dalam penerapan hukum menjadi sulit dicapai. Hukum yang seharusnya menjadi instrumen keadilan dan keteraturan, berisiko berubah menjadi alat ekspresi perasaan pribadi yang tidak terukur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip ini juga menunjukkan bahwa manusia cenderung mencintai sesuatu yang memberinya manfaat, dan membenci sesuatu yang menimbulkan kerugian. Kecenderungan ini bersifat alami, namun jika dijadikan dasar dalam penilaian moral atau legislasi, maka akan mengarah pada subjektivitas yang ekstrem. Tindakan yang sebenarnya memiliki nilai kebajikan bisa saja ditolak karena tidak menyenangkan bagi individu tertentu, sementara tindakan yang merugikan orang lain bisa saja diterima karena memberikan keuntungan pribadi.

Dalam konteks legislasi, penerapan prinsip arbitrer dapat menghambat terciptanya hukum yang adil dan berorientasi pada kepentingan umum. Legislator yang membuat hukum berdasarkan perasaan pribadi tanpa pertimbangan rasional dan etis, berisiko menghasilkan kebijakan yang diskriminatif, tidak konsisten, dan tidak berpihak pada keadilan sosial. Oleh karena itu, penting bagi para pembuat hukum untuk menyadari bahaya dari prinsip ini dan menghindari pendekatan yang hanya mengandalkan simpati atau antipati.

Sebaliknya, hukum yang baik harus dibangun di atas landasan kebajikan, keadilan, dan pertimbangan rasional yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Penilaian terhadap suatu tindakan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat, nilai-nilai moral yang berlaku, serta prinsip-prinsip universal yang menjamin hak dan martabat setiap individu. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi sebagai alat pembentuk masyarakat yang adil, harmonis, dan beradab.

Prinsip arbitrer, meskipun mencerminkan dinamika emosional manusia, tidak dapat dijadikan dasar utama dalam penilaian moral dan hukum. Ia harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, di mana perasaan pribadi diimbangi dengan pertimbangan etis dan rasional. Hanya dengan cara ini, hukum dan moralitas dapat menjalankan peran pentingnya dalam membangun kehidupan bersama yang bermartabat dan berkeadilan.

Komentar

Postingan Populer