Pelawak Keliling dan Mikrofon Warisan
Di kampung Tegalbuntu, ada satu profesi yang dihormati setengah takut: pelawak keliling. Namanya Mas Karyo, pria berusia empat puluh lima tahun yang mengaku sudah melawak sejak bayi, meski warga curiga itu hanya karena ia lahir sambil tersenyum miring.
Mas Karyo tidak punya panggung tetap. Ia melawak di mana saja: di warung, di pos ronda, bahkan di acara lamaran yang seharusnya khidmat. Ia punya satu senjata andalan: mikrofon tua peninggalan pamannya, yang kalau dipakai selalu mengeluarkan suara “cek... cek... batuk... cek...” sebelum bisa dipakai bicara.
Mikrofon itu sudah bolong di bagian spons, kabelnya dililit lakban, dan kadang-kadang menyetrum ringan kalau dipakai sambil berkeringat. Tapi bagi Mas Karyo, itu bukan masalah. “Ini mikrofon punya sejarah. Pernah dipakai waktu paman saya melawak di depan kambing,” katanya bangga.
Suatu hari, Mas Karyo mendapat undangan resmi dari Pak Lurah untuk mengisi acara peresmian gapura baru. Ia pun bersiap: menyetrika baju batik, menyemir sepatu, dan tentu saja, mengelap mikrofon warisan dengan tisu bekas. Ia datang dengan gaya seperti artis ibukota, meski naik sepeda yang rantainya bunyi seperti orang bersin.
Acara dimulai. Pak Lurah memberi sambutan, lalu menyerahkan panggung kepada Mas Karyo. Begitu mikrofon dinyalakan, suara pertama yang keluar adalah siulan burung. Warga terdiam. Mas Karyo tersenyum, “Tenang, itu efek suara. Saya memang pelawak multitalenta.”
Ia mulai melawak dengan gaya khasnya: cerita tentang masa kecil, tentang mantan pacar yang suka makan kerupuk sambil nangis, dan tentang pengalaman naik angkot yang sopirnya suka nyanyi dangdut sambil ngebut. Warga tertawa, tapi mikrofon mulai berulah. Setiap kali Mas Karyo tertawa, mikrofon ikut tertawa dengan suara “krek-krek-krek.”
Pak RW yang duduk di depan mulai gelisah. “Mas Karyo, itu mikrofon atau ayam lapar?” katanya sambil menahan tawa.
Mas Karyo tidak terganggu. Ia malah menjadikan mikrofon sebagai bagian dari lawakannya. “Ini mikrofon punya perasaan. Kalau saya lucu, dia ikut ketawa. Kalau saya garing, dia diem aja.”
Tiba-tiba, mikrofon mati total. Mas Karyo panik, lalu berteriak, “Tenang, saya punya cadangan!” Ia mengeluarkan corong bekas pompa sepeda dan mulai melawak dengan gaya teater. Warga makin terhibur. Bahkan Pak Lurah sampai berdiri dan berkata, “Ini pelawak atau dukun panggung?”
Setelah acara selesai, Mas Karyo mendapat banyak pujian. Tapi yang paling mengejutkan, mikrofon tua itu ditawar oleh Pak Darto, kolektor barang antik. “Saya mau beli mikrofon ini. Saya yakin ini bisa jadi peninggalan budaya.”
Mas Karyo menolak. “Maaf, Pak Darto. Mikrofon ini bukan sekadar alat. Ini sahabat saya. Dia tahu semua rahasia lawakan saya, termasuk yang gagal.”
Sejak itu, Mas Karyo makin terkenal. Ia diundang ke berbagai acara, dari sunatan sampai lomba masak. Mikrofon tua tetap setia menemaninya, meski kadang-kadang bunyinya lebih mirip radio rusak. Tapi bagi warga Tegalbuntu, suara “cek... batuk... cek...” itu adalah tanda bahwa tawa akan segera datang.
Dan di kampung itu, pelawak bukan hanya penghibur. Ia adalah pengingat bahwa hidup, seberat apa pun, selalu punya sisi lucu. Asal berani tertawa, bahkan pada mikrofon yang menyetrum.



Komentar
Posting Komentar