Pejabat Baru dan Kursi Berbunyi
Di desa Karanglegi, jabatan adalah hal yang sakral. Tapi kadang, sakralnya lebih karena seragam dan nasi kotak saat rapat, bukan karena tanggung jawab. Suatu hari, desa itu kedatangan pejabat baru bernama Pak Gufron, yang diangkat sebagai Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban. Jabatan panjang, tugasnya pendek: memastikan warga tidak ribut saat rebutan mic karaoke.
Pak Gufron datang dengan gaya pejabat kota: sepatu mengkilap, rambut klimis, dan tas kerja yang isinya ternyata cuma sisir dan parfum. Ia langsung membuat gebrakan: mengganti kursi balai desa dengan kursi empuk yang bisa berputar. “Biar rapat terasa seperti seminar,” katanya.
Hari pertama rapat, kursi baru diuji. Begitu Pak Gufron duduk, kursinya berbunyi nyaring: “Kreekkk.” Semua mata tertuju padanya. Ia tersenyum canggung, lalu berkata, “Itu suara semangat kerja.” Tapi kursi terus berbunyi setiap ia bergerak, membuat rapat lebih mirip pertunjukan sulap bunyi.
Bu Narti, ketua PKK, mencoba duduk di kursi itu. Begitu ia geser sedikit, kursi berbunyi seperti ayam lapar. “Pak Gufron, ini kursi atau alat musik?” tanyanya sambil tertawa.
Pak Gufron tidak menyerah. Ia membuat program baru: “Gerakan Senyap Desa.” Tujuannya agar warga tidak ribut saat jam istirahat siang. Tapi pelaksanaannya kacau. Pak Darto, tukang bakso, ditegur karena manggil pembeli terlalu keras. “Baksoooo!” diganti jadi “Bakso... pelan saja.”
Warga protes. “Kalau manggilnya pelan, nanti yang datang cuma semut,” kata Pak Darto.
Pak Gufron pun mengadakan pelatihan “Berbicara dengan Nada Damai.” Pesertanya hanya tiga orang: Pak RW, Bu Narti, dan Mas Juki yang datang karena salah baca undangan, dikira pelatihan karaoke.
Di tengah semua program itu, Pak Gufron mulai terkenal bukan karena prestasi, tapi karena kursinya. Setiap kali ia duduk di acara resmi, kursi berbunyi. Bahkan saat upacara bendera, bunyi kursi terdengar lebih keras dari lagu Indonesia Raya.
Anak-anak mulai meniru. Mereka membuat lomba “Kursi Bunyi Terbaik” dengan hadiah satu botol parfum Pak Gufron yang tertinggal di balai desa. Pemenangnya adalah Beni, bocah kelas tiga SD, yang berhasil membuat kursi bunyi seperti kambing bersin.
Pak Gufron mulai merasa jabatannya tidak dihargai. Ia pun membuat peraturan baru: “Dilarang menertawakan kursi pejabat.” Tapi warga malah membuat lagu dangdut berjudul “Kursi Berbunyi, Hati Bergetar.”
Akhirnya, Pak Gufron sadar bahwa jabatan bukan soal kursi, tapi soal aksi. Ia mengganti kursi empuk dengan bangku kayu biasa, dan mulai turun langsung ke lapangan: membantu Pak Darto dorong gerobak, ikut Bu Narti bersih-bersih, dan bahkan jadi juri lomba karaoke.
Sejak itu, warga mulai menyukai Pak Gufron. Ia tak lagi dikenal sebagai pejabat kursi bunyi, tapi sebagai pejabat yang mau duduk di mana saja, asal bisa kerja. Dan di desa Karanglegi, jabatan tak lagi soal seragam, tapi soal siapa yang mau turun tangan, meski kadang harus duduk di kursi yang bunyinya seperti kambing bersin.


Komentar
Posting Komentar