Peci Sajadah Panjang dan Perjalanan Menuju Mushola



Di kampung Cibuluh Tengah, ada satu tokoh yang selalu jadi pusat perhatian setiap kali waktu salat tiba: Pak Raji, pensiunan tukang servis kipas angin yang sejak pensiun memutuskan jadi “penjaga kekhusyukan” di mushola kampung. Ia punya dua benda sakral yang tak pernah lepas dari tubuhnya: peci putih yang selalu miring ke kanan, dan sajadah panjang yang kalau dibentangkan bisa menutupi dua saf sekaligus.

Peci Pak Raji bukan peci biasa. Sudut kemiringannya sudah dihitung dengan rumus pribadi, katanya agar sinyal khusyuk lebih lancar. Sementara sajadah panjangnya adalah hasil jahitan tangan selama tiga bulan, terdiri dari lima motif, dua resleting, dan satu kantong rahasia tempat menyimpan permen jahe.

Suatu hari, kampung mengadakan lomba kebersihan mushola antar RT. Pak Raji langsung semangat. Ia membentangkan sajadah panjangnya dari pintu masuk sampai mimbar, lalu berkata, “Ini bukan pamer, ini strategi. Biar orang langsung tahu arah kiblat tanpa bingung.”

Bu Narti, ketua PKK, yang sedang mengepel lantai, tersandung ujung sajadah dan hampir jatuh ke ember. “Pak Raji, sajadahnya panjang sekali. Ini mushola, bukan lapangan voli.”

Pak Raji tersenyum. “Kalau sajadah pendek, khusyuknya juga pendek.”

Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten, datang dengan kamera dan langsung merekam. “Judulnya: ‘Sajadah Panjang, Jalan Menuju Surga.’” Tapi saat ia melangkah di atas sajadah, terdengar suara “krek.” Ternyata ia menginjak kantong rahasia berisi kerupuk.

Pak Darto, pensiunan guru yang kini jadi juri lomba, mulai mencatat. “Peci miring, sajadah panjang, kerupuk di dalam. Ini bukan kebersihan, ini pertunjukan.”

Waktu salat tiba. Pak Raji berdiri di saf depan, membentangkan sajadahnya dengan gerakan dramatis. Tapi karena terlalu panjang, ujung sajadahnya masuk ke sandal Pak Udin yang sedang tidur di pojok mushola. Saat Pak Udin bangun, ia terkejut, “Ini sajadah atau selimut?”

Salat dimulai. Tapi karena sajadah Pak Raji menutupi garis saf, jamaah jadi bingung. Ada yang salat menghadap kipas, ada yang menghadap rak mukena. Pak RW berdiri dan berkata, “Kita perlu koordinasi. Jangan sampai sajadah bikin arah berubah.”

Setelah salat, Pak Raji menggelar sesi tanya jawab. Ia menjelaskan filosofi peci miring: “Kalau lurus, terlalu biasa. Kalau miring, ada perjuangan.” Lalu ia buka kantong sajadah dan membagikan permen jahe. “Ini untuk menjaga suara saat baca doa.”

Warga mulai terbiasa. Sajadah panjang Pak Raji dijadikan penanda acara. Kalau dibentangkan, artinya ada pengajian. Kalau digulung, artinya waktu istirahat. Bahkan anak-anak mulai bermain “ular tangga sajadah,” melompat dari motif ke motif sambil menghindari kantong kerupuk.

Suatu hari, Pak Raji diundang ke acara keagamaan di kecamatan. Ia datang dengan peci miring dan sajadah panjang digulung seperti gulungan karpet kerajaan. Saat dibentangkan, panitia terdiam. “Pak, ini sajadah atau jalan tol?”

Pak Raji menjawab, “Ini jalan menuju ketenangan. Panjangnya sesuai panjang harapan.”

Dan di kampung Cibuluh Tengah, peci dan sajadah bukan lagi benda biasa. Mereka jadi cerita, jadi tawa, dan jadi bukti bahwa kekhusyukan bisa datang dari benda sederhana, asal dibawa dengan niat, sedikit kerupuk, dan kemiringan yang sudah diperhitungkan.

Komentar

Postingan Populer