Peci Haji dan Perjalanan Menuju Warung



Di kampung Karang Goyang, peci haji bukan sekadar penutup kepala, tapi simbol status, kebijaksanaan, dan kadang-kadang alat tawar harga di pasar. Di sana tinggal Pak Mamat, seorang pensiunan tukang kayu yang baru pulang dari tanah suci. Sejak pulang, ia tidak pernah lepas dari peci hajinya—putih bersih, agak miring, dan selalu dipakai bahkan saat menyiram tanaman.

Pak Mamat percaya bahwa peci hajinya membawa keberkahan. “Kalau saya pakai peci ini, ayam saya bertelur lebih rajin,” katanya pada Bu Narti, tetangga sebelah yang mulai curiga apakah ayamnya memang religius atau hanya lapar.

Suatu pagi, Pak Mamat memutuskan pergi ke warung Bu Jum untuk beli sabun dan kerupuk. Ia berdandan rapi: sarung disetrika, baju koko harum, dan tentu saja, peci haji dipasang dengan sudut kemiringan yang sudah ia ukur pakai penggaris. Tapi begitu keluar rumah, angin bertiup kencang dan peci hajinya terbang ke sawah.

Pak Mamat panik. Ia mengejar peci itu sambil berteriak, “Berhenti, kamu benda suci!” Peci itu mendarat di atas kepala Pak Darto, yang sedang duduk di pematang sambil makan singkong. Pak Darto terkejut, “Ini peci atau wahyu?”

Setelah insiden itu, Pak Mamat mulai mengikat peci hajinya dengan tali rafia. “Biar tidak kabur lagi,” katanya. Tapi tali itu terlalu panjang, dan saat ia jalan ke warung, pecinya tersangkut di pagar rumah Bu Sarmi. Ia tertarik mundur, lalu jatuh ke gerobak sayur.

Bu Jum, yang melihat kejadian itu, berkata, “Pak Mamat, kalau peci haji dipakai seperti layangan, saya khawatir nanti ada yang minta diterbangkan.”

Pak Mamat tidak menyerah. Ia mulai memperlakukan peci hajinya seperti benda pusaka. Ia menyimpan di lemari khusus, diberi alas kain beludru, dan disemprot parfum mawar setiap Jumat. Ia bahkan membuat jadwal rotasi: hari Senin peci dipakai ke warung, Selasa ke masjid, Rabu ke pos ronda, dan Kamis untuk tidur siang.

Suatu hari, kampung mengadakan lomba fashion islami. Pak Mamat mendaftar dengan percaya diri. Ia tampil dengan peci haji, sarung batik, dan tongkat kayu yang katanya “bukan untuk gaya, tapi untuk menjaga keseimbangan spiritual.” Tapi saat berjalan di panggung, peci hajinya miring ke belakang dan jatuh ke kolong meja juri.

Pak RW, yang jadi juri utama, berkata, “Pak Mamat, peci Anda tampaknya ingin ikut lomba sendiri.”

Pak Mamat menjawab, “Itu tandanya dia sudah mandiri.”

Meski tidak menang lomba, Pak Mamat jadi terkenal. Anak-anak mulai meniru gaya peci miringnya, bahkan Mas Juki membuat konten berjudul “Tutorial Peci Haji Anti Angin.” Peci Pak Mamat jadi ikon kampung, dan setiap kali ia lewat, warga akan berkata, “Itu dia, peci yang pernah jatuh ke singkong.”

Dan di kampung Karang Goyang, peci haji bukan lagi sekadar penutup kepala. Ia jadi cerita, jadi tawa, dan jadi bukti bahwa benda kecil bisa membawa kebesaran, asal dipakai dengan niat, tali rafia, dan sedikit keberanian untuk jatuh ke gerobak sayur.

Komentar

Postingan Populer