Misteri Sawah Berbisik dan Petani yang Bingung



Di kampung Cikalong Girang, sawah bukan hanya tempat menanam padi, tapi juga tempat warga merenung, curhat, dan kadang-kadang menyembunyikan sandal yang hilang saat pengajian. Sawah di sana luasnya seperti ambisi Pak RW: tidak pernah selesai diukur, tapi selalu dibicarakan.

Tokoh utama dalam kisah ini adalah Mang Ujang, petani senior yang sudah menanam padi sejak zaman televisi masih pakai antena bambu. Ia dikenal sebagai “penjaga sawah spiritual,” karena setiap pagi ia berbicara dengan tanaman. “Kalau padi diajak ngobrol, hasilnya lebih lembut,” katanya sambil menyiram pakai gayung bekas.

Suatu hari, Mang Ujang mengaku mendengar suara aneh dari sawah. “Semalam, saya dengar suara bisikan. Katanya, ‘Jangan lupa pupuk, Mang.’” Warga langsung heboh. Bu Narti, ketua PKK, berkata, “Itu mungkin suara padi yang stres.” Pak Darto, pensiunan guru, lebih skeptis. “Itu pasti angin. Atau tetangga yang latihan drama.”

Mang Ujang tidak peduli. Ia mulai membawa tape recorder ke sawah, berharap bisa merekam suara bisikan. Tapi yang terekam malah suara kambing bersin dan Pak Udin mengeluh soal harga sabun. Ia tetap yakin, “Sawah ini punya jiwa. Kita harus hormat.”

Kabar tentang sawah berbisik menyebar. Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten, datang dengan drone dan kamera. Ia membuat video berjudul “Sawah Berbicara: Antara Mitos dan Mie Instan.” Videonya viral, meski sebagian penonton lebih tertarik pada adegan Mang Ujang tersandung lumpur.

Pak RW mengadakan rapat darurat. “Kita harus jaga reputasi kampung. Jangan sampai sawah kita dikira tempat syuting film horor.” Bu Jum, penjual jamu, usul agar sawah diberi sesajen berupa kerupuk dan teh manis. “Biar bisikannya lebih ramah,” katanya.

Mang Ujang makin serius. Ia mulai menulis puisi untuk sawah, membacanya setiap sore sambil duduk di pematang. “Wahai padi, wahai lumpur, wahai katak yang suka ganggu tidurku…” Warga mulai khawatir, tapi juga terhibur.

Suatu pagi, Mang Ujang mengklaim bahwa sawah memberinya pesan penting: “Jangan tanam padi, tanam harapan.” Ia pun mengganti sebagian lahannya dengan tanaman hias dan satu baris pohon pisang. Pak Darto datang dan berkata, “Mang, kalau tanam harapan, jangan lupa tanam logika juga.”

Panen tiba. Hasilnya mengejutkan: padi tumbuh lebih cepat, tapi bentuknya mirip huruf Z. Mang Ujang senang. “Ini padi modern, bisa dipakai buat sandi rahasia.” Bu Narti bingung, “Kalau dimasak, nasinya jadi alfabet?”

Akhirnya, warga menerima bahwa sawah Mang Ujang memang beda. Ia dijuluki “Sawah Inspiratif,” dan dijadikan tempat wisata lokal. Pengunjung datang untuk mendengar bisikan sawah, meski yang terdengar hanya suara jangkrik dan Mang Ujang membaca puisi.

Dan di kampung Cikalong Girang, sawah bukan lagi sekadar ladang padi. Ia jadi tempat cerita, tempat tawa, dan tempat di mana bisikan angin bisa jadi nasihat hidup, asal didengar dengan hati yang cukup santai dan sandal yang tidak tenggelam lumpur.

Komentar

Postingan Populer