Menetapkan Kebenaran dari Allah: Jalan Tauhid yang Lurus
Dalam ranah pemikiran dan perjalanan spiritual, terdapat perbedaan mendasar antara cara pandang seorang arif dengan cara pandang seorang yang masih berada di permukaan pengetahuan. Perbedaan itu tampak jelas dalam cara mereka berdalil tentang keberadaan Allah dan alam. Sebagian orang memulai dari pengamatan terhadap alam, lalu menyimpulkan bahwa di balik keteraturan dan keindahan alam pasti ada Sang Pencipta. Sementara sebagian lainnya memulai dari keyakinan akan keberadaan Allah, lalu memahami bahwa alam ini adalah manifestasi dari kehendak dan kekuasaan-Nya. Perbedaan ini bukan sekadar urutan logika, melainkan mencerminkan kedalaman tauhid dan kedekatan ruhani kepada Sang Pemilik Kebenaran.
Orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam telah menetapkan kebenaran dari sumbernya. Ia tidak membutuhkan bukti dari ciptaan untuk meyakini keberadaan Sang Pencipta, karena ia telah sampai kepada-Nya. Ia memulai dari Allah, bukan dari makhluk. Ia menetapkan segala perkara dengan merujuk kepada asalnya, yaitu Allah. Dalam pandangan ini, alam bukanlah alat untuk membuktikan Tuhan, melainkan hasil dari kehendak-Nya yang sudah pasti. Alam hanyalah pancaran dari wujud-Nya, bukan jalan menuju-Nya. Maka, keyakinan seperti ini tidak tergoyahkan oleh perubahan, tidak tergantung pada pengamatan, dan tidak terikat oleh logika semata.
Sebaliknya, orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah masih berada di tahap awal. Ia belum sampai kepada-Nya, sehingga ia membutuhkan perantara untuk mengenal-Nya. Ia melihat keteraturan, keindahan, dan hukum-hukum alam, lalu menyimpulkan bahwa semua itu pasti berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi. Meskipun dalil ini sah secara akal, namun ia belum menyentuh kedalaman tauhid. Ia masih menjadikan makhluk sebagai jalan menuju Sang Pencipta, padahal Sang Pencipta tidak pernah jauh. Ia masih mencari bukti, padahal Allah tidak pernah gaib. Ia masih menempuh jalan luar, padahal jalan dalam telah terbuka bagi siapa pun yang mau menyelaminya.
Pertanyaan yang diajukan oleh para arifin sangat menggugah: kapan Allah gaib sehingga diperlukan bukti untuk mengetahui keberadaan-Nya? Dan bilakah Dia itu jauh, sehingga benda-benda alamlah yang mengantar kita kepada-Nya? Pertanyaan ini bukan untuk menolak akal, tetapi untuk mengingatkan bahwa Allah lebih dekat daripada segala yang tampak. Ia tidak tersembunyi, tetapi hati yang tertutup membuat-Nya seolah jauh. Ia tidak memerlukan bukti, tetapi jiwa yang belum mengenal membuat-Nya seolah asing. Maka, jalan tauhid yang sejati adalah menetapkan Allah terlebih dahulu, lalu melihat segala sesuatu sebagai manifestasi dari-Nya.
Dalam kehidupan spiritual, menetapkan Allah sebagai asal segala perkara membawa ketenangan dan kepastian. Seorang hamba tidak lagi bingung oleh perubahan dunia, karena ia tahu bahwa semua itu berasal dari kehendak-Nya. Ia tidak lagi mencari-cari bukti, karena ia telah merasakan kehadiran-Nya dalam setiap detik kehidupan. Ia tidak lagi tergantung pada logika semata, karena hatinya telah menyatu dengan cahaya makrifat. Ia berjalan di dunia dengan pandangan yang jernih, dengan hati yang lapang, dan dengan jiwa yang tenang. Karena ia tahu bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang harus dicari di luar, tetapi sesuatu yang telah hadir di dalam.
Menetapkan Allah sebagai sumber kebenaran juga melahirkan sikap tawadhu. Seorang hamba tidak akan sombong dengan ilmu, karena ia tahu bahwa ilmu hanyalah pancaran dari cahaya-Nya. Ia tidak akan merasa paling benar, karena kebenaran mutlak hanya milik Allah. Ia tidak akan meremehkan orang lain, karena setiap jiwa memiliki jalan masing-masing menuju Tuhan. Ia akan bersikap lembut, bijak, dan penuh kasih, karena ia berjalan dengan kesadaran bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Inilah jalan tauhid yang lurus, jalan yang dimulai dari Allah dan berakhir kepada-Nya. Jalan yang tidak tergantung pada makhluk, tetapi sepenuhnya bersandar kepada Sang Pencipta. Jalan yang tidak mencari bukti, tetapi menyaksikan kehadiran. Jalan yang tidak menempuh keraguan, tetapi menetapkan kepastian. Dan dalam jalan seperti ini, seorang hamba akan menemukan kedamaian yang hakiki, kebijaksanaan yang mendalam, dan cinta yang tak terbatas kepada Tuhan yang Maha Nyata.



Komentar
Posting Komentar