Makan Malam di Teras yang Tak Pernah Tenang


Di kampung Cibuluh Kidul, makan malam adalah waktu paling rawan untuk introspeksi, debat ringan, dan kadang-kadang pertunjukan tak terduga dari tetangga sebelah. Di sana tinggal Pak Darto, pensiunan guru yang punya kebiasaan makan malam di teras rumah, lengkap dengan tikar, lampu gantung, dan radio tua yang hanya bisa menangkap siaran kalau dipukul pelan.

Pak Darto percaya bahwa makan malam harus dilakukan di udara terbuka agar pikiran ikut terbuka. Ia selalu menyajikan menu sederhana: nasi hangat, sayur asem, tempe goreng, dan sambal yang bisa membuat orang jujur tanpa diminta. Tapi suasana makan malamnya jarang tenang.

Suatu malam, saat Pak Darto sedang menyendok nasi, terdengar suara dari rumah Bu Narti: karaoke dangdut dengan volume yang bisa membuat cicak pindah rumah. Lagu yang diputar adalah “Kopi Dangdut,” tapi versinya sudah dicampur dengan suara blender dan anak kecil menangis. Pak Darto berhenti makan, lalu berkata, “Ini makan malam atau konser rumah tangga?”

Tak lama kemudian, datang Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten. Ia duduk di pinggir tikar, membawa kamera, dan berkata, “Pak, saya mau rekam suasana makan malam kampung. Judulnya: ‘Nasi, Sambal, dan Gangguan Akustik.’” Pak Darto mengangguk, lalu menyendok sambal lebih banyak, katanya biar ekspresi wajah lebih dramatis.

Tiba-tiba, seekor ayam milik Pak Udin masuk ke teras dan mulai mematuk tempe goreng. Pak Darto terkejut, “Ini ayam atau tamu tak diundang?” Ayam itu tidak peduli, ia terus makan sambil sesekali berkokok, seolah-olah sedang mengomentari rasa sambal.

Bu Jum, penjual jamu, lewat sambil membawa keranjang. Ia berhenti dan berkata, “Pak Darto, makan malamnya ramai ya. Saya kira ada acara.” Pak Darto menjawab, “Ini bukan acara, ini ujian kesabaran.”

Tak lama kemudian, radio tua Pak Darto mendadak menangkap siaran asing. Suara penyiar berbicara dalam bahasa yang tidak dikenal, lalu disusul musik instrumental yang mirip suara mesin cuci. Pak Darto menatap radio, lalu berkata, “Kalau ini siaran dari masa depan, saya harap mereka bawa lauk baru.”

Mas Juki tertawa, lalu mulai wawancara. “Pak, apa filosofi makan malam di teras?” Pak Darto menjawab, “Kalau makan di dalam rumah, saya cuma kenyang. Tapi kalau di teras, saya dapat cerita, ayam, dan kadang-kadang tamu tak dikenal.”

Malam makin larut. Pak RW lewat, melihat keramaian di teras, lalu duduk tanpa diundang. Ia membawa pisang goreng dari rumahnya, lalu berkata, “Saya ikut makan, biar tidak ketinggalan suasana.” Bu Narti, yang karaoke-nya sudah selesai, ikut bergabung sambil membawa teh manis.

Akhirnya, makan malam Pak Darto berubah jadi acara dadakan. Warga duduk melingkar, berbagi lauk, cerita, dan tawa. Ayam Pak Udin tetap di tengah, mematuk sisa nasi dengan tenang. Radio tua masih berbunyi, meski suaranya sudah menyerupai dengungan lebah.

Dan di kampung Cibuluh Kidul, makan malam bukan lagi soal perut. Ia jadi ruang berkumpul, tempat cerita tumbuh, dan bukti bahwa nasi hangat, sambal jujur, dan ayam yang tidak tahu aturan bisa menciptakan malam yang tak biasa, meski hanya di atas tikar dan di bawah lampu gantung yang kadang-kadang padam sendiri.

Komentar

Postingan Populer