Ketika Amal Ditunda: Cermin Kebodohan Jiwa

Menunda beramal saleh dengan alasan menunggu waktu yang lebih luang merupakan bentuk kebodohan jiwa yang sering kali tidak disadari. Ia tampak sebagai pilihan yang masuk akal secara lahiriah, namun sesungguhnya mencerminkan kelemahan spiritual dan kurangnya pemahaman terhadap hakikat waktu, kesempatan, dan panggilan Ilahi. Amal saleh bukanlah sesuatu yang bisa ditunda tanpa konsekuensi. Ia adalah panggilan yang datang dengan waktu yang telah ditentukan, dan menundanya berarti menolak cahaya yang sedang mengetuk pintu hati.

Kebodohan jiwa bukan hanya soal tidak tahu, tetapi juga soal tidak mengenali nilai sesuatu yang berada di hadapan. Ketika seseorang menunda berbuat baik karena merasa belum siap, belum sempat, atau menunggu kondisi yang lebih ideal, ia sedang menunda kebaikan yang bisa menjadi sebab keselamatan dan keberkahan. Ia sedang menunda cahaya yang bisa menerangi jalan hidupnya. Dan lebih dari itu, ia sedang menunda perjumpaan dengan makna yang lebih tinggi.

Waktu tidak pernah benar-benar luang. Ia selalu diisi oleh sesuatu, entah itu kesibukan dunia, pikiran yang berkelana, atau rutinitas yang tak kunjung usai. Maka, menunggu waktu luang untuk beramal saleh adalah ilusi. Yang dibutuhkan bukan waktu yang kosong, tetapi hati yang siap. Karena amal saleh tidak menuntut kesempurnaan kondisi, melainkan kesungguhan niat dan ketulusan tindakan. Bahkan amal yang kecil, jika dilakukan dengan ikhlas, lebih bernilai daripada amal besar yang terus ditunda.

Menunda amal juga menunjukkan bahwa seseorang belum memahami bahwa hidup ini tidak menjamin esok. Kesempatan yang ada hari ini bisa jadi tidak datang lagi. Kesehatan, waktu, kemampuan, dan bahkan kesadaran bisa berubah dalam sekejap. Maka, menunda amal adalah bentuk kelalaian terhadap kefanaan hidup. Ia adalah bentuk penolakan halus terhadap panggilan Allah yang datang melalui ilham, dorongan hati, atau kesempatan yang terbuka.

Dalam tradisi hikmah, amal saleh adalah buah dari kesadaran. Ia lahir dari hati yang terjaga, dari jiwa yang peka terhadap kebaikan, dan dari ruh yang rindu akan kedekatan dengan Tuhan. Maka, ketika seseorang menunda amal, ia sedang memadamkan api kesadaran itu. Ia sedang membiarkan jiwanya tertidur, dan membiarkan cahaya yang semestinya menyinari hidupnya berlalu begitu saja.

Kebodohan jiwa juga tampak ketika seseorang menganggap bahwa amal saleh bisa dilakukan kapan saja, seolah-olah ia memiliki kendali penuh atas waktu dan kesempatan. Padahal, amal saleh adalah anugerah. Ia tidak selalu datang, dan tidak selalu mudah dilakukan. Maka, ketika pintu amal terbuka, itu adalah tanda bahwa Allah sedang memberi kesempatan. Menundanya berarti menutup pintu yang telah dibuka oleh rahmat-Nya.

Orang yang bijak adalah orang yang segera menyambut kebaikan ketika ia datang. Ia tidak menunggu waktu luang, tetapi menciptakan ruang di dalam kesibukannya. Ia tidak menunggu kondisi ideal, tetapi menjadikan amal sebagai bagian dari perjuangan hidupnya. Ia tahu bahwa amal bukan beban, tetapi bekal. Ia tahu bahwa amal bukan gangguan, tetapi jalan menuju ketenangan.

Menunda amal saleh adalah bentuk penipuan diri. Ia tampak ringan, tetapi dampaknya dalam. Ia tampak sepele, tetapi bisa menjadi sebab hilangnya keberkahan. Maka, penting bagi setiap jiwa untuk menyadari bahwa amal saleh harus dilakukan saat panggilan itu datang. Karena panggilan itu adalah bentuk cinta dari Tuhan, dan menundanya berarti menunda perjumpaan dengan cinta yang sejati.

Dalam kehidupan yang terus bergerak, amal saleh adalah jangkar yang menstabilkan jiwa. Ia adalah cahaya yang menerangi langkah, dan air yang menyegarkan hati. Maka, jangan menundanya. Jangan menunggu waktu luang. Karena waktu luang tidak selalu datang, dan panggilan kebaikan tidak selalu mengetuk dua kali. Segeralah beramal, karena di sanalah letak kebijaksanaan, dan di sanalah awal dari kedekatan dengan Tuhan.

Komentar

Postingan Populer