Kering Total di Kampung Basah

Di kampung Basah, segala hal biasanya basah. Dari jalanan yang selalu becek, cucian yang tak pernah kering, sampai gosip yang cepat menyebar seperti air tumpah. Tapi suatu hari, kampung itu mengalami kejadian luar biasa: kekeringan.

Awalnya, warga tidak percaya. “Kampung kita kan namanya Basah, masa bisa kering?” kata Bu Narti sambil menatap ember kosong. Tapi kenyataan tak bisa dibantah. Sumur-sumur mulai seret, kolam ikan berubah jadi lapangan voli, dan Pak Darto, yang biasanya mandi tiga kali sehari, mulai pakai tisu basah.

Pak RW segera mengadakan rapat darurat. Ia berdiri di balai desa dengan wajah serius dan kipas manual di tangan. “Warga sekalian, kita sedang menghadapi masa kering. Ini bukan hanya soal air, tapi juga soal harga diri kampung kita.”

Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin video tutorial cara tidur siang, langsung bertanya, “Pak RW, kalau air habis, kita mandi pakai apa?”

Pak RW menjawab, “Kita harus kreatif. Bisa pakai embun pagi, atau kalau terpaksa, pakai bayangan air.”

Warga mulai panik. Bu Jum, penjual es kelapa, terpaksa ganti menu jadi es bayam karena kelapa sudah mogok berbuah. “Ini bukan es segar, ini es sabar,” katanya pada pelanggan yang bingung.

Di tengah kekeringan, muncul ide dari Pak Darto: membuat hujan buatan. Ia mengumpulkan ember, kipas angin, dan satu botol parfum aroma hujan. “Kalau kita kipas ember sambil semprot parfum, siapa tahu suasana jadi basah,” katanya penuh harap.

Percobaan dilakukan di lapangan. Warga berkumpul, kipas dinyalakan, parfum disemprot, dan ember digoyang. Hasilnya: satu warga bersin, dua anak kecil kabur karena bau parfum, dan seekor ayam duduk di ember, mengira itu tempat bertelur.

Mas Garing, pelawak kampung yang terkenal karena lawakannya yang selalu garing, mencoba menghibur. “Kenapa air nggak datang? Karena dia takut basah!” katanya sambil tertawa sendiri. Warga hanya menatap kosong, lebih kering dari tawa.

Bu Narti mencoba ritual lama: menjemur cucian tanpa air. “Yang penting niat,” katanya sambil menggantung baju kotor. Pak Udin, tukang tambal ban, mulai jual jasa “mandi bayangan.” Ia berdiri di depan kaca dan berkata, “Bayangkan Anda sedang mandi. Rasakan segarnya... meski cuma angan.”

Akhirnya, datanglah hujan. Tapi bukan dari langit, melainkan dari truk tangki air bantuan. Warga bersorak, berebut ember, dan Mas Juki merekam semuanya untuk konten “Kampung Basah Kembali.”

Pak RW berdiri di tengah keramaian, lalu berkata, “Kita telah melewati masa kering dengan semangat, kreativitas, dan sedikit kebingungan. Tapi ingat, yang paling penting bukan airnya, tapi tawa kita.”

Dan sejak itu, kampung Basah punya tradisi baru: setiap tahun, mereka mengadakan Festival Kering, di mana warga bersaing dalam lomba mandi imajinasi, minum air pura-pura, dan lawakan garing. Karena di sana, kering bukan musibah, tapi alasan untuk tertawa lebih keras.

Komentar

Postingan Populer