Kencing Misterius di Balai Desa



Di kampung Cikuray Girang, balai desa adalah tempat segala hal terjadi: rapat warga, arisan, latihan senam, bahkan kadang tempat tidur darurat kalau Pak RW lupa kunci rumah. Tapi suatu hari, balai desa jadi pusat perhatian karena satu hal yang tidak biasa—ada genangan air misterius di pojok ruangan. Warnanya agak kuning, baunya mencurigakan, dan letaknya persis di bawah spanduk “Desa Bersih, Warga Ceria.”

Pak RW, yang baru saja ganti sandal karena yang lama tenggelam di kolam ikan, langsung mengadakan investigasi. Ia berdiri di tengah balai desa dengan wajah serius dan penggaris di tangan. “Warga sekalian, kita harus cari tahu siapa pelaku kencing sembarangan ini. Ini bukan sekadar genangan, ini ancaman terhadap kebersihan desa!”

Bu Narti, ketua PKK yang selalu membawa tisu basah ke mana pun, langsung angkat tangan. “Saya curiga sama kucing kampung, Pak RW. Kemarin saya lihat dia duduk di kursi rapat sambil menatap pojok itu dengan tatapan penuh niat.”

Pak Darto, pensiunan guru yang kini jadi ahli analisis kejadian aneh, berkata, “Kalau dilihat dari sudut genangan dan arah angin, ini bukan kucing. Ini manusia. Kucing tidak punya strategi sepresisi ini.”

Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten investigasi, langsung membawa kamera dan mulai merekam. “Kita akan ungkap pelaku kencing misterius ini. Saya akan upload di kanal saya: ‘Kencing di Balai, Siapa Pelakunya?’”

Warga mulai gelisah. Pak Udin, tukang tambal ban, tiba-tiba berdiri dan berkata, “Saya punya teori. Ini bukan kencing biasa. Ini mungkin air dari termos bocor.” Tapi Bu Jum, penjual jamu, membantah, “Termos saya bocor, tapi isinya jamu kunyit. Warnanya beda.”

Penyelidikan makin panas. Pak RW memutuskan untuk memanggil saksi mata. Datanglah Beni, bocah SD yang sering main di balai desa. Ia berkata dengan polos, “Kemarin saya lihat Pak Doyok berdiri di pojok itu sambil nyanyi lagu dangdut, terus dia bilang ‘Aduh, nggak tahan.’”

Semua mata tertuju pada Pak Doyok, pria paruh baya yang dikenal suka tertidur di mana saja. Ia tersenyum canggung. “Saya memang berdiri di sana, tapi saya cuma latihan vokal. Kalau ada genangan, mungkin itu... efek suara.”

Pak RW tidak puas. Ia membawa alat tes sederhana: tisu, sendok, dan insting. Setelah pengujian singkat, ia berkata, “Ini bukan air hujan, bukan jamu, bukan termos bocor. Ini... kencing.”

Warga terdiam. Lalu tertawa. Karena di kampung Cikuray Girang, tidak ada yang bisa marah lama-lama, apalagi kalau pelakunya tidak sengaja.

Akhirnya, Pak RW membuat peraturan baru: “Siapa pun yang ingin kencing, silakan ke belakang balai. Jangan di pojok ruangan, apalagi di bawah spanduk.” Bu Narti menyumbang ember, Pak Darto membuat petunjuk arah, dan Mas Juki mengunggah video klarifikasi: “Pak Doyok Tidak Bersalah, Tapi Harus Lebih Waspada.”

Dan sejak itu, balai desa kembali bersih. Tapi genangan itu tetap dikenang sebagai “Kejadian Pojok Kuning,” cerita yang selalu muncul di setiap arisan, diselingi tawa, dan sedikit rasa was-was kalau ada yang berdiri terlalu lama di sudut ruangan.

Komentar

Postingan Populer