Jalan Baru, Masalah Lama



Di desa Cikadut Girang, pembangunan jalan adalah topik yang lebih panas daripada gosip mantan kepala desa. Setiap tahun, warga berharap jalan utama desa diperbaiki, karena kondisinya sudah seperti arena lomba lompat batu. Tapi entah kenapa, tiap kali ada anggaran, yang dibangun justru jalan menuju kandang kambing Pak RW.

Suatu hari, datanglah kabar gembira: akan ada proyek jalan beton sepanjang seratus meter. Warga bersorak, terutama Bu Narti yang tiap pagi harus menyeberangi genangan air yang lebih mirip kolam lele. Pak Darto, pensiunan guru yang kini jadi komentator pembangunan, langsung membuat jadwal piket warga untuk mengawasi proyek. “Kita harus pastikan jalan ini bukan cuma buat selfie pejabat,” katanya tegas.

Hari pertama pembangunan, datanglah truk besar membawa semen dan batu. Tapi sopirnya bingung, “Pak, ini jalan yang mana? Saya lihat semua jalan di sini minta diperbaiki.” Pak RW menunjuk jalan kecil di belakang balai desa. “Yang ini dulu, karena di sini sering dilewati tamu penting.”

Warga mulai curiga. “Tamu penting siapa, Pak RW? Kambing Pak Udin?” tanya Mas Juki, pemuda kampung yang hobi merekam video lucu. Pak RW tersenyum, “Bukan. Kadang ada staf kecamatan lewat sini, kalau nyasar.”

Pembangunan dimulai. Hari pertama, tukang datang tanpa alat. Hari kedua, alat datang tanpa tukang. Hari ketiga, datang hujan deras, dan semen berubah jadi bubur. Pak Darto mencatat semua kejadian itu di buku harian khusus proyek jalan. “Ini bukan pembangunan, ini sinetron,” tulisnya.

Setelah dua minggu, jalan sepanjang lima meter selesai. Tapi warga bingung karena jalan itu langsung mentok ke tembok rumah Bu Jum. “Ini jalan atau lorong rahasia?” katanya sambil tertawa. Tukang menjelaskan, “Kami hanya mengikuti denah. Kalau temboknya salah, itu bukan urusan kami.”

Pak RW mengadakan rapat darurat. Ia berdiri dengan serius, lalu berkata, “Kita akan lanjutkan pembangunan jalan, tapi harus ada partisipasi warga.” Warga setuju, asal partisipasinya bukan dalam bentuk utang batu bata.

Mas Juki punya ide: membuat lomba jalan tercepat di jalan baru. Hadiahnya satu bungkus kerupuk dan foto bersama Pak RW. Tapi lomba gagal karena jalan terlalu pendek, peserta sudah selesai sebelum musik pembuka diputar.

Bu Narti mengusulkan agar jalan itu dijadikan tempat senam pagi. Tapi saat senam dimulai, sepatu warga lengket karena sisa semen belum kering. “Ini senam atau latihan lepas sepatu?” keluh Bu Jum.

Akhirnya, jalan itu dijadikan tempat duduk sore. Warga membawa kursi, teh manis, dan cerita lucu. Jalan yang tadinya penuh harapan kini jadi tempat nongkrong paling ramai. Bahkan anak-anak mulai menyebutnya “Jalan Santai Nasional.”

Pak RW bangga. “Lihat, jalan ini membawa kebersamaan,” katanya. Tapi Pak Darto menimpali, “Kebersamaan duduk, bukan berjalan.”

Dan begitulah, di desa Cikadut Girang, jalan baru tidak selalu berarti kemajuan. Kadang, ia hanya membawa tawa, cerita, dan sedikit lengket di sepatu. Tapi bagi warga, itu sudah cukup. Karena di kampung mereka, jalan terbaik adalah jalan yang bisa membuat semua orang tertawa, meski ujungnya mentok di tembok.

Komentar

Postingan Populer