Himmah Seorang Salik: Keteguhan Mencari Hakikat di Balik Tirai Rohani
Dalam perjalanan spiritual seorang salik, terdapat satu kekuatan batin yang menjadi penggerak utama dalam pencarian makna dan kedekatan dengan Tuhan. Kekuatan itu disebut himmah, yaitu hasrat yang membara, tekad yang tidak goyah, dan dorongan jiwa yang terus melaju menuju hakikat. Himmah bukan sekadar keinginan, melainkan pancaran ruhani yang mendorong seorang pencari untuk tidak berhenti, bahkan ketika tirai-tirai rohani telah tersingkap dan keindahan spiritual mulai tampak di hadapan mata batin.
Namun, dalam hikmah yang mendalam dari para arifin, tersingkapnya tirai rohani bukanlah akhir dari perjalanan. Justru di saat itu, suara-suara hakikat, atau hawaatif al-haqiiqah, akan berseru kepada sang salik, “Apa yang engkau cari masih di depanmu.” Seruan ini bukan untuk melemahkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa puncak pencarian bukanlah pada keindahan yang tampak, melainkan pada hakikat yang sejati. Keindahan alam, keajaiban spiritual, dan pengalaman batin yang menggetarkan hati bukanlah tujuan akhir. Mereka hanyalah tanda-tanda, bukan hakikat itu sendiri.
Ketika seorang salik mulai melihat keindahan alam dengan mata ruhani, ia bisa terpesona oleh pancaran cahaya, oleh kedalaman makna, oleh kelembutan yang menyentuh jiwa. Namun hakikat akan menyeru padanya, “Kami hanyalah batu ujian, maka janganlah engkau kafir.” Seruan ini mengandung peringatan yang halus namun tegas. Jangan sampai seorang salik berhenti pada keindahan yang tampak, lalu mengira bahwa ia telah sampai. Jangan sampai ia menjadikan pengalaman spiritual sebagai tujuan, lalu melupakan Sang Pemilik hakikat.
Keindahan alam, pengalaman rohani, dan tirai-tirai yang tersingkap adalah fitnah dalam arti ujian. Mereka bisa menjadi penghalang jika seorang salik terjebak dalam kenikmatan batin dan melupakan perjalanan menuju Tuhan. Fitnah bukan berarti keburukan, tetapi ujian yang bisa menyesatkan jika tidak disikapi dengan bijak. Maka, seorang salik harus terus menjaga himmah-nya, agar tidak berhenti, agar tidak tertipu oleh keindahan yang belum tentu hakiki.
Himmah yang sejati akan mendorong seorang salik untuk terus melangkah, meskipun sudah merasakan manisnya dzikir, indahnya munajat, dan tenangnya hati dalam ibadah. Ia tidak akan merasa cukup, karena ia tahu bahwa yang ia cari bukanlah rasa, bukanlah pengalaman, tetapi Tuhan itu sendiri. Ia akan terus berjalan, menembus lapisan-lapisan makna, menyingkap tabir-tabir batin, dan menolak untuk berhenti sebelum benar-benar sampai kepada Yang Maha Hakikat.
Dalam perjalanan ini, suara-suara hakikat menjadi penuntun yang membimbing sang salik agar tidak terjebak. Mereka mengingatkan bahwa segala sesuatu yang tampak, seindah apa pun, hanyalah bayangan. Hakikat tidak bisa dilihat dengan mata, tidak bisa dirasa dengan indera, tetapi hanya bisa dicapai dengan hati yang bersih, jiwa yang ikhlas, dan himmah yang tidak pernah padam. Maka, seorang salik harus terus menjaga kesadaran, agar tidak menjadikan keindahan sebagai berhala baru, agar tidak menjadikan pengalaman sebagai pengganti Tuhan.
Ketika seorang salik mampu memahami bahwa semua keindahan adalah ujian, maka ia akan bersikap waspada. Ia akan menikmati keindahan dengan syukur, tetapi tidak akan berhenti di sana. Ia akan menerima pengalaman rohani dengan rendah hati, tetapi tidak akan menganggapnya sebagai akhir. Ia akan terus berjalan, karena suara hakikat terus memanggil, “Apa yang engkau cari masih di depanmu.”
Inilah makna terdalam dari himmah. Ia bukan sekadar dorongan untuk memulai, tetapi kekuatan untuk terus melanjutkan. Ia bukan sekadar semangat awal, tetapi keteguhan yang bertahan hingga akhir. Himmah adalah cahaya yang menuntun seorang salik melewati fitnah keindahan, melewati tirai-tirai rohani, dan menuju hakikat yang sejati. Dan selama suara hakikat masih berseru, selama hati masih mampu mendengar panggilan-Nya, maka perjalanan belum selesai. Sang salik harus terus melangkah, dengan himmah yang tak pernah padam, menuju perjumpaan yang hakiki dengan Tuhan.



Komentar
Posting Komentar