Hikayat Pantun yang Tersesat
Di kampung Tanjung Goyang, pantun adalah warisan budaya yang dijaga dengan penuh semangat, meski kadang isinya lebih mirip curhat daripada nasihat. Di sana tinggal seorang tokoh bernama Wak Jali, lelaki tua yang mengaku sebagai “penjaga hikayat pantun,” meski warga lebih mengenalnya sebagai tukang ngelantur di acara kawinan.
Wak Jali punya kebiasaan unik: setiap kali diajak bicara, jawabannya selalu dalam bentuk pantun. Bahkan saat ditanya harga cabai, ia menjawab, “Cabai merah di atas nampan, pedasnya bikin mata berair. Kalau mau tahu harga sekarang, tanya dulu sama tukang sayur.”
Suatu hari, kampung mengadakan lomba pantun hikayat antar RT. Hadiahnya satu karung beras dan piagam yang ditulis tangan oleh Pak Darto, pensiunan guru yang kini jadi juri tetap lomba apapun. Wak Jali langsung mendaftar, membawa buku catatan yang katanya berisi “pantun sakti dari zaman Majapahit.”
Hari lomba tiba. Wak Jali tampil dengan baju batik yang warnanya sudah bersaing dengan taplak meja, dan peci miring yang katanya “biar ide mengalir ke kiri.” Ia berdiri di panggung, lalu membuka dengan pantun pembuka:
Bunga melati di tepi kali,
Ikan lele berenang ke darat.
Kalau pantun bikin geli,
Berarti hikayatnya belum tepat.
Warga tertawa, bukan karena lucu, tapi karena ikan lele berenang ke darat dianggap sebagai pertanda musim panen gagal.
Lawan Wak Jali adalah Mas Juki, pemuda kampung yang baru belajar pantun dari internet. Ia tampil dengan gaya modern, lengkap dengan efek suara dari ponsel. Pantunnya berbunyi:
Buka aplikasi di pagi hari,
Pantun digital langsung terbaca.
Kalau Wak Jali masih pakai teori,
Siap-siap kalah tanpa suara.
Wak Jali tidak gentar. Ia membalas dengan pantun hikayat panjang yang melibatkan tokoh fiktif bernama “Putri Kunyit” dan “Raja Sendawa.” Ceritanya berliku, mulai dari kerajaan yang kehabisan minyak goreng, sampai pangeran yang tersesat di pasar karena GPS-nya rusak.
Pak Darto mulai bingung. “Ini lomba pantun atau sinetron?” gumamnya sambil mencatat poin.
Bu Narti, penonton setia, berbisik, “Saya suka pantun Wak Jali, meski kadang saya lupa dia sedang cerita apa.”
Puncak lomba terjadi saat Wak Jali membacakan pantun penutup:
Kerbau lari ke tengah sawah,
Dikejar anak pakai sepatu.
Kalau hikayat bikin resah,
Berarti pantunnya terlalu satu.
Mas Juki bingung. “Terlalu satu itu maksudnya apa?” Wak Jali menjawab, “Itu istilah zaman dulu, artinya belum sempat dua.”
Akhirnya, juri memutuskan pemenang berdasarkan kriteria baru: pantun paling membingungkan tapi tetap membuat orang senyum. Wak Jali menang telak. Ia menerima karung beras dengan pantun:
Beras ditanak jadi nasi,
Nasi dimakan sambil tertawa.
Kalau pantun bikin hati berseri,
Berarti hikayatnya tak sia-sia.
Sejak itu, Wak Jali diundang ke berbagai acara: sunatan, syukuran, bahkan rapat RT. Ia tetap setia dengan gaya pantunnya yang kadang melompat dari topik ke topik seperti kucing mengejar bayangan.
Dan di kampung Tanjung Goyang, pantun bukan sekadar kata berima. Ia jadi jalan cerita, jadi bahan tawa, dan jadi bukti bahwa hikayat bisa tersesat, asal ujungnya tetap bikin orang bahagia.



Komentar
Posting Komentar