Garing Level Dewa dan Kipas Angin yang Tersinggung



Di kampung Cibebek, ada satu nama yang selalu disebut saat acara kumpul warga: Mas Garing. Bukan karena dia jago melawak, tapi karena semua lawakannya... garing. Bahkan anak-anak kecil yang biasanya tertawa hanya karena kata “kentut” pun diam kalau Mas Garing mulai tampil.

Mas Garing punya cita-cita jadi komedian nasional. Ia sudah punya panggung sendiri: teras rumahnya yang sempit, satu kursi plastik, dan kipas angin yang selalu menyala karena penonton sering kepanasan bukan karena tertawa, tapi karena bingung.

Setiap malam Jumat, ia mengadakan pertunjukan “Stand Up Garing.” Penontonnya tetap: Pak Darto yang insomnia, Bu Narti yang salah paham dikira ada arisan, dan Beni, bocah SD yang datang karena dikasih gorengan.

Mas Garing membuka pertunjukan dengan gaya percaya diri. “Selamat malam, warga Cibebek! Saya punya lawakan baru. Kenapa ayam nyebrang jalan? Karena dia mau ke seberang!”

Semua diam. Bahkan kipas angin berhenti berputar, seolah tersinggung.

Mas Garing tidak menyerah. “Kalau kambing naik motor, namanya apa? Kambing gas!”

Pak Darto menghela napas. “Mas, itu bukan lawakan, itu cobaan.”

Bu Narti mencoba tertawa, tapi malah batuk. Beni mulai menggambar di tanah, lebih tertarik pada semut daripada punchline.

Mas Garing punya strategi baru. Ia membawa properti: boneka tangan yang ia beri nama “Si Garing Junior.” Tapi boneka itu malah jatuh ke kolam ikan. “Itu bagian dari drama,” katanya sambil mengambil boneka yang kini bau pelet.

Ia lanjut, “Saya punya tebak-tebakan. Kalau sandal hilang satu, itu tandanya apa?”

Pak Darto menjawab, “Tandanya kamu harus jalan miring.”

Mas Garing bingung. “Lho, kok lucu jawabannya?”

Pak Darto berdiri, “Saya pensiun dari jadi penonton. Saya takut tertular garing.”

Suatu hari, Mas Garing diundang tampil di acara ulang tahun Pak RW. Ia senang bukan main. Ia membawa naskah lawakan sepanjang lima halaman, lengkap dengan efek suara dari mulut sendiri. Tapi saat tampil, mikrofon mati, dan ia harus teriak. “Kenapa kucing nggak bisa jadi guru? Karena dia suka tidur di meja!”

Pak RW tertawa, tapi ternyata karena ingat cicilan kulkas. Bu RW tertawa karena melihat Mas Garing pakai sepatu beda warna. Anak-anak tertawa karena balon meletus. Tidak ada yang tertawa karena lawakannya.

Mas Garing pulang dengan wajah bingung. Ia duduk di teras, ditemani kipas angin yang kini berputar pelan, seolah berkata, “Sudah cukup, Mas.”

Tapi esoknya, ia bangkit lagi. Ia menulis naskah baru berjudul “Garing Tapi Berani.” Ia tampil di warung Bu Sarmi, di depan dua orang dan satu kucing. Lawakannya tetap garing, tapi kali ini, kucing itu mengeong setelah punchline. “Lihat, ada yang respon!” katanya bangga.

Sejak itu, Mas Garing jadi legenda kampung. Bukan karena lucunya, tapi karena konsistensinya. Ia tampil di acara sunatan, lomba masak, bahkan saat pemakaman (meski diminta diam setelah lima menit). Ia tidak pernah menyerah, karena baginya, garing bukan akhir, tapi awal dari tawa yang tertunda.

Dan di kampung Cibebek, Mas Garing adalah pengingat bahwa kadang, yang paling lucu bukan lawakannya, tapi semangatnya. Karena tawa sejati bukan soal punchline, tapi soal keberanian untuk tetap tampil, meski kipas angin pun sudah menyerah.

Komentar

Postingan Populer