DJ Kampung dan Mixer Warisan



Di kampung Cibebek Luhur, musik DJ bukan hal biasa. Warga lebih akrab dengan suara kentongan ronda dan lagu dangdut dari radio tua. Tapi segalanya berubah ketika Mas Deni, pemuda yang baru pulang dari kota, mengumumkan bahwa ia kini berprofesi sebagai DJ. Ia bahkan menambahkan gelar di belakang namanya: “DJ Deni D’Desa.”

Mas Deni membawa pulang satu koper besar berisi perlengkapan DJ: laptop bekas, headphone yang cuma bunyi di satu telinga, dan mixer tua peninggalan pamannya yang dulu pernah jadi operator sound di acara sunatan. Ia menyewa teras rumah Bu Narti sebagai studio, lengkap dengan spanduk bertuliskan “DJ Deni – Musikmu, Nasibmu.”

Warga penasaran. Pak Darto, pensiunan guru, datang pertama kali. “Saya kira DJ itu singkatan dari Doyan Jagung,” katanya sambil duduk di kursi plastik. Bu Jum, penjual jamu, ikut nimbrung, berharap musik DJ bisa bikin jamunya lebih laku.

Mas Deni mulai pertunjukan. Ia menyalakan laptop, membuka aplikasi DJ gratis, dan mulai memutar lagu remix hasil racikan sendiri: campuran suara ayam, kentongan ronda, dan potongan lagu dangdut. “Ini namanya genre baru: Dangdut Elektronik Kampung,” katanya bangga.

Tiba-tiba, mixer tua berbunyi aneh. Suara “cek... cek... brakk” terdengar, lalu lampu studio mati. Mas Deni tetap tenang. “Tenang, ini efek visual. Biar dramatis.” Tapi warga mulai gelisah. Pak Darto berdiri, “Kalau dramatisnya bikin saya nggak bisa lihat jalan pulang, itu bukan seni, itu jebakan.”

Mas Deni mencoba lagi. Kali ini ia memutar lagu remix berjudul “Kicau Burung Subuh feat. Kentongan RT.” Warga mulai tertawa. Beni, bocah SD, mulai joget dengan gaya yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Bu Jum mulai menawarkan jamu dengan slogan baru: “Minum jamu sambil goyang, sehat dan bingung.”

Kabar tentang DJ Deni menyebar. Ia diundang tampil di acara tujuhbelasan. Tapi saat tampil, speaker kampung mendadak mengeluarkan suara radio tetangga. Lagu remix berubah jadi ceramah agama. Mas Deni panik, lalu berkata, “Ini kolaborasi lintas genre.”

Pak RW mulai mempertimbangkan apakah DJ cocok untuk kampung. Ia mengadakan rapat khusus. “Warga sekalian, kita harus putuskan. Apakah musik DJ membawa manfaat atau hanya bikin ayam stres?”

Bu Narti membela, “Saya suka musiknya. Walau kadang bikin panci saya bergetar.”

Akhirnya, diputuskan bahwa DJ Deni boleh tampil, asal tidak mengganggu jam tidur kambing dan tidak memutar lagu remix saat jam ronda. Mas Deni setuju. Ia bahkan membuat remix khusus untuk ronda malam: suara sandal, suara kentongan, dan suara Pak Udin batuk.

Sejak itu, DJ Deni jadi ikon kampung. Ia tampil di acara hajatan, lomba masak, bahkan saat panen padi. Musiknya tetap aneh, tapi warga menyukainya. Karena di kampung Cibebek Luhur, musik bukan soal beat, tapi soal semangat. Dan DJ Deni, dengan mixer warisan dan headphone setengah hidup, berhasil membuktikan bahwa bahkan suara ayam pun bisa jadi irama, asal diputar dengan niat dan sedikit keberanian.

Komentar

Postingan Populer