Cuci Piring dan Revolusi di Dapur Bu Narti
Di kampung Cibebek Girang, urusan cuci piring bukan perkara kecil. Ia bisa menentukan suasana rumah tangga, nasib arisan, bahkan status sosial di antara ibu-ibu. Di sanalah tinggal Bu Narti, pemilik warung makan legendaris yang terkenal karena dua hal: sambalnya yang bisa bikin orang jujur, dan tumpukan piring kotor yang bisa bikin orang merenung tentang hidup.
Bu Narti punya sistem dapur yang unik. Piring kotor tidak langsung dicuci, tapi dikumpulkan dulu sampai membentuk menara kecil di sudut dapur. Katanya, “Kalau dicuci satu-satu, capek. Kalau dicuci sekaligus, itu namanya perjuangan.” Tapi perjuangan itu sering tertunda karena Bu Narti lebih suka ngobrol daripada menyikat.
Suatu hari, datanglah Pak Darto, pensiunan guru yang sedang mencari kegiatan baru. Ia menawarkan diri membantu cuci piring. “Saya ingin merasakan makna dari sabun dan air,” katanya sambil membawa celemek bergambar ayam. Bu Narti setuju, tapi dengan syarat: jangan tanya kenapa ada piring yang bentuknya mirip tutup galon.
Pak Darto mulai bekerja. Tapi ia punya metode sendiri: piring dibagi berdasarkan tingkat kenangan. Piring bekas makan soto diberi label “hangat,” piring bekas nasi goreng disebut “berminyak,” dan piring bekas acara lamaran diberi kategori “emosional.” Bu Narti bingung, “Pak, ini dapur atau museum perasaan?”
Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin konten, datang dan mulai merekam. “Judulnya: Filosofi Cuci Piring Pak Darto.” Video itu viral, dan warga mulai berdatangan ke warung bukan untuk makan, tapi untuk melihat cara Pak Darto mencuci piring sambil berdialog dengan sendok.
Suatu sore, terjadi insiden. Piring yang ditumpuk terlalu tinggi roboh dan menimpa ember sabun. Air sabun muncrat ke langit-langit, mengenai kipas angin, dan akhirnya jatuh ke kepala Pak RW yang sedang lewat. Ia terdiam, lalu berkata, “Saya kira ini hujan berkah, ternyata sabun lemon.”
Bu Jum, penjual jamu, ikut membantu. Ia membawa ramuan khusus untuk membersihkan kerak piring. Tapi ramuan itu terlalu kuat, dan piring-piring jadi licin seperti jalan basah. Pak Darto tergelincir, jatuh ke tumpukan sendok, dan berkata, “Ini sendok atau jebakan masa lalu?”
Bu Narti akhirnya membuat aturan baru: cuci piring harus dilakukan dengan tenang, tanpa filosofi, dan tanpa kamera. Tapi warga sudah terlanjur terinspirasi. Mereka mulai menerapkan sistem cuci piring di rumah masing-masing: ada yang pakai timer, ada yang pakai musik dangdut, dan ada yang pakai doa pembuka.
Pak Darto tetap datang setiap hari, membawa celemek baru dan satu buku catatan berisi “Refleksi Piring Hari Ini.” Ia menulis: “Piring kotor adalah bukti kehidupan. Kalau tidak ada piring kotor, berarti tidak ada makan. Kalau tidak ada makan, berarti tidak ada cerita.”
Dan di kampung Cibebek Girang, cuci piring bukan lagi tugas dapur. Ia jadi ruang tawa, tempat kontemplasi, dan bukti bahwa bahkan sabun dan air bisa membawa kebijaksanaan, asal disikat dengan niat dan sedikit keberanian untuk tergelincir di antara sendok-sendok yang tidak pernah diam.



Komentar
Posting Komentar