Celengan RW dan Kasus Serius di Kampung Gembira



Di kampung Gembira, segala hal bisa jadi bahan tertawa, kecuali satu: celengan RW. Celengan itu bukan sembarang tempat simpan uang, melainkan simbol kepercayaan warga. Bentuknya ayam jago dari plastik, warnanya merah menyala, dan suaranya bisa berkokok kalau digoyang. Setiap warga yang datang ke balai kampung wajib menyumbang seribu rupiah ke celengan itu, katanya untuk dana kebersihan, perbaikan jalan, dan sesekali beli gorengan saat rapat.

Pak RW, bernama Pak Samin, adalah sosok yang dipercaya menjaga celengan itu. Ia dikenal ramah, suka senyum, dan punya kebiasaan aneh. selalu membawa celengan ke mana pun, bahkan saat ke sawah. “Biar aman,” katanya. Tapi warga mulai curiga ketika jalan kampung tetap berlubang, sementara Pak Samin tiba-tiba punya sepeda listrik baru yang bisa nyanyi kalau bel dibunyikan.

Suatu hari, Bu Narti, ketua arisan, menemukan kejanggalan. “Lho, kok dana kebersihan bulan ini cuma cukup buat beli satu sapu? Padahal warga rajin nyumbang,” katanya sambil menghitung ulang catatan. Ia pun mengajak Pak Darto, mantan guru matematika, untuk menyelidiki.

Pak Darto membawa kalkulator, buku catatan, dan satu kantong kacang rebus. Ia menghitung dengan serius, lalu berkata, “Kalau dihitung dari jumlah warga dan frekuensi nyumbang, seharusnya kita punya cukup dana buat beli truk kebersihan, bukan cuma sapu.”

Warga mulai gelisah. Mereka mengadakan rapat darurat di balai kampung. Pak Samin datang dengan celengan ayam jagonya, duduk di kursi RW, dan tersenyum seperti biasa. Tapi kali ini, senyumnya tidak dibalas.

Bu Narti berdiri dan berkata, “Pak RW, kami ingin tahu, ke mana perginya uang celengan?”

Pak Samin terdiam. Ia mencoba menjawab, “Sebagian untuk beli sepeda, sebagian untuk... eh... pelatihan kepemimpinan.”

“Pelatihan di mana?” tanya Pak Darto.

“Di warung Bu Sarmi. Saya belajar cara memimpin antre beli gorengan,” jawab Pak Samin polos.

Warga tertawa, tapi tawa itu cepat berubah jadi gumaman serius. Celengan ayam jago pun dibuka. Isinya hanya beberapa lembar uang lusuh dan satu kupon diskon mie instan. Pak Darto menghela napas, “Ini bukan korupsi besar, tapi cukup untuk bikin jalan tetap berlubang dan hati warga bolong.”

Akhirnya, warga sepakat mengganti sistem. Celengan RW diganti dengan rekening bersama, dan Pak Samin diberi tugas baru: menjaga tempat parkir sepeda. Ia menerima dengan lapang dada, meski sepeda listriknya kini dipakai bersama untuk antar ibu-ibu ke pasar.

Sejak itu, kampung Gembira benar-benar jadi gembira. Jalan mulai diperbaiki, sapu baru dibeli, dan gorengan saat rapat kembali hadir. Celengan ayam jago dijadikan pajangan di balai kampung, sebagai pengingat bahwa kepercayaan itu bukan mainan, dan korupsi, sekecil apa pun, bisa bikin sepeda RW bernyanyi sendirian di tengah jalan berlubang.

Dan setiap kali warga lewat balai kampung, mereka akan menatap celengan itu sambil berkata, “Kalau ayam bisa berkokok, manusia harus bisa jujur.”

Komentar

Postingan Populer