Cahaya Tawajjuh dan Anwaar al-Muwajjahah: Jalan Ruhani Menuju dan Bersama Allah
Dalam perjalanan spiritual, manusia menempuh berbagai tingkatan kedekatan dengan Allah. Sebagian masih berjalan menuju-Nya, sebagian telah sampai kepada-Nya. Perbedaan ini bukan sekadar perbedaan posisi, tetapi perbedaan kualitas cahaya yang menyertai mereka. Orang-orang yang tengah berjalan menuju Allah mendapat petunjuk dengan cahaya tawajjuh, yaitu cahaya yang muncul dari konsentrasi penuh dalam menghadap kepada-Nya. Sedangkan orang-orang yang telah sampai kepada Allah memiliki anwaar al-muwajjahah, yaitu cahaya yang terpancar dari perjumpaan langsung dengan-Nya. Perbedaan ini menggambarkan dua fase penting dalam kehidupan ruhani: fase pencarian dan fase penyaksian.
Cahaya tawajjuh adalah cahaya yang dibutuhkan oleh para salik, para pencari Tuhan, untuk menuntun langkah mereka di tengah gelapnya dunia dan kabut nafsu. Cahaya ini tidak datang dengan sendirinya, melainkan lahir dari kesungguhan hati, dari konsentrasi yang mendalam, dan dari keinginan yang tulus untuk mendekat kepada Allah. Ia adalah cahaya yang membimbing, yang menunjukkan arah, dan yang menjaga agar langkah tidak menyimpang. Para salik yang berada dalam fase ini adalah milik cahaya, karena mereka masih membutuhkan cahaya untuk sampai kepada tujuan. Mereka belum memiliki cahaya itu sebagai bagian dari diri mereka, tetapi mereka terus mencarinya, mengikutinya, dan menjadikannya penuntun dalam setiap gerak ruhani.
Berbeda dengan mereka yang telah sampai kepada Allah. Cahaya yang mereka miliki bukan lagi cahaya pencarian, tetapi cahaya perjumpaan. Anwaar al-muwajjahah adalah cahaya yang lahir dari berhadapan langsung dengan Allah, dari penyaksian yang mendalam, dan dari kedekatan yang hakiki. Mereka tidak lagi membutuhkan cahaya sebagai penuntun, karena cahaya itu telah menjadi bagian dari diri mereka. Mereka tidak lagi berjalan dengan harapan, tetapi dengan kepastian. Mereka tidak lagi mencari, tetapi telah menemukan. Mereka adalah milik Allah, bukan milik sesuatu selain-Nya. Maka, cahaya yang mereka miliki bukan berasal dari luar, tetapi terpancar dari dalam, dari ruh yang telah menyatu dengan sumber cahaya itu sendiri.
Perbedaan antara kedua kelompok ini juga mencerminkan perbedaan dalam cara mereka memahami dan menyikapi wahyu. Bagi para pencari, wahyu adalah petunjuk yang harus dipelajari, direnungi, dan dijadikan bekal dalam perjalanan. Mereka membaca Al-Qur’an dengan penuh harap, dengan rasa ingin tahu, dan dengan semangat untuk memahami. Sedangkan bagi mereka yang telah sampai, wahyu adalah cermin dari apa yang telah mereka saksikan. Mereka tidak hanya membaca, tetapi menyaksikan. Mereka tidak hanya memahami, tetapi mengalami. Maka, ketika Al-Qur’an disampaikan kepada mereka, ia menjadi cahaya yang menyatu dengan cahaya yang telah mereka miliki.
Namun, tidak semua orang menyambut cahaya itu. Sebagian memilih untuk bermain-main dalam kesesatan, meskipun cahaya telah disampaikan kepada mereka. Allah berfirman, “Katakanlah: Allah-lah yang menurunkannya, kemudian sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka, biarkan mereka bermain-main dalam kesesatan mereka.” Firman ini menunjukkan bahwa cahaya tidak akan memaksa masuk ke dalam hati yang menolak. Ia hanya akan menyinari hati yang terbuka, yang bersih, dan yang siap menerima. Maka, tugas para salik bukanlah memaksa, tetapi menyampaikan. Tugas para arif bukanlah mengubah, tetapi menyinari. Dan tugas setiap hamba adalah menjaga agar hatinya tetap terbuka, agar cahaya tawajjuh bisa masuk, dan agar anwaar al-muwajjahah bisa tumbuh.
Dalam kehidupan ruhani, perjalanan dari cahaya tawajjuh menuju anwaar al-muwajjahah adalah perjalanan yang panjang, penuh ujian, dan penuh keindahan. Ia membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan ketekunan. Ia menuntut agar seorang hamba tidak hanya beribadah secara lahiriah, tetapi juga menyelami makna batiniah. Ia mengajak agar manusia tidak hanya berjalan dengan kaki, tetapi juga dengan hati. Dan ketika cahaya telah menyatu dengan jiwa, maka seluruh kehidupan menjadi pancaran dari kedekatan itu. Setiap kata menjadi dzikir, setiap langkah menjadi ibadah, dan setiap detik menjadi penyaksian.
Inilah jalan para pencari dan para penyaksi. Jalan yang dimulai dengan tawajjuh dan berakhir dengan muwajjahah. Jalan yang tidak hanya menuntun kepada Allah, tetapi juga menyatu dengan-Nya. Dan dalam cahaya itulah, seorang hamba menemukan makna hidup, menemukan ketenangan, dan menemukan cinta yang tak terbatas kepada Sang Pemilik Cahaya.



Komentar
Posting Komentar