Bilal Indrajaya - Achir Maret
Lagu “Achir Maret” karya Bilal Indrajaya adalah sebuah persembahan musikal yang mengalir tenang, reflektif, dan penuh makna. Dirilis pada 28 Maret 2025, lagu ini menandai kembalinya Bilal ke ranah musik setelah jeda hampir dua tahun sejak album sebelumnya, “Nelangsa Pasar Turi”. Dalam “Achir Maret”, Bilal tidak sekadar menciptakan lagu, melainkan membangun ruang kontemplatif yang mengajak pendengar untuk merenungi makna kebaikan, kerinduan, dan ketulusan dalam hidup. Lagu ini hadir dengan nuansa yang lebih khidmat dan senyap dibandingkan karya-karya sebelumnya, memperlihatkan kematangan artistik dan spiritual seorang musisi yang telah melewati berbagai fase pencarian.
Lirik-lirik dalam lagu ini ditulis dengan gaya yang lembut dan puitis, menyampaikan pesan-pesan yang tidak menggurui, tetapi mengalir seperti doa yang pelan. Kalimat seperti “lupakan lara, kelak kan terbiasa, dan tak mungkin binasa” mengandung filosofi tentang ketahanan jiwa manusia. Bilal mengajak pendengar untuk tidak larut dalam kesedihan, karena waktu dan keteguhan hati akan menyembuhkan luka. Ada keyakinan bahwa meskipun hidup membawa duka, manusia memiliki kekuatan untuk bertahan dan menemukan kembali cahaya dalam dirinya.
Makna “pulang” dalam lagu ini bukan sekadar kembali ke tempat fisik, melainkan kembali ke ruang batin yang penuh cinta dan penerimaan. “Kembali pulang pada yang tercinta, kan tersambut hadirmu” adalah gambaran tentang harapan akan pelukan yang hangat, tentang tempat yang selalu terbuka meski kita datang dengan luka. Pulang menjadi simbol dari rekonsiliasi, dari keinginan untuk kembali ke sumber kedamaian, baik itu keluarga, cinta, atau bahkan Tuhan. Lagu ini menyentuh sisi spiritual dari pengalaman manusia, tanpa harus menyebutkan agama atau dogma. Ia berbicara dalam bahasa universal: bahasa kerinduan dan harapan.
Refrain lagu ini mengulang baris “tak henti kunyanyikan, meskipun tanpa kabar, menghampar bahagia seluas mega, merindukan surga”. Di sini, Bilal menyuarakan keteguhan hati dalam mencintai dan merindukan, meski tanpa kepastian. Bahagia tidak datang dari balasan, tetapi dari ketulusan rasa. “Surga” menjadi metafora dari kedamaian, cinta sejati, atau rumah yang sesungguhnya. Lagu ini mengajarkan bahwa cinta yang tulus tidak menuntut, tidak memaksa, dan tidak menghilang meski tidak diberi kabar. Ia tetap hidup, menyanyikan kerinduan dalam diam.
Secara musikal, “Achir Maret” digarap dengan pendekatan minimalis yang sangat hati-hati. Bilal bekerja sama dengan produser Lafa Pratomo, yang dikenal memiliki kepekaan dalam menerjemahkan esensi lagu menjadi satu kesatuan yang utuh. Aransemen yang sederhana namun atmosferik mendukung narasi lirik, menciptakan pengalaman mendengarkan yang intim dan mendalam. Tidak ada produksi berlebihan, tidak ada eksploitasi emosi. Semua elemen dalam lagu ini hadir untuk melayani pesan inti: bahwa kebaikan, cinta, dan kerinduan adalah hal-hal yang layak direnungkan dan dirayakan.
Bilal juga menyebut bahwa lagu ini adalah bentuk rasa terima kasih kepada mereka yang berjasa dalam hidupnya. Ia mempersembahkan “Achir Maret” bagi orang-orang yang telah menghamparkan kebaikan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam perjalanan bermusiknya. Lagu ini menjadi semacam surat cinta kepada para guru, sahabat, keluarga, dan siapa pun yang pernah menjadi cahaya dalam hidup seseorang. Dalam dunia yang sering sibuk dan penuh kebisingan, “Achir Maret” hadir sebagai jeda yang sunyi, sebagai ruang untuk mengingat dan menghargai.
Video lirik yang dirilis bersamaan dengan lagu turut memperkuat narasi visual dari tema introspektif yang diangkat. Digarap oleh Michael Christianto Budiman, video tersebut tidak berusaha menjadi spektakuler, melainkan menjadi pendamping yang tenang bagi lagu yang sudah berbicara dengan kekuatan batinnya sendiri. Kehadiran musisi lain seperti Sigit Pramudita dari Tigapagi dan Rhesa Aditya sebagai mastering engineer juga menunjukkan bahwa “Achir Maret” adalah hasil kolaborasi yang penuh cinta dan perhatian terhadap detail.
Lagu ini bukan hanya tentang akhir bulan Maret, tetapi tentang akhir dari sebuah fase, tentang transisi dari luka menuju penerimaan, dari kerinduan menuju ketenangan. Ia mengajak pendengar untuk tidak terburu-buru, untuk duduk sejenak dan mendengarkan suara hati yang mungkin selama ini tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia. “Achir Maret” adalah pengingat bahwa dalam keheningan, kita bisa menemukan makna, dan dalam kerinduan, kita bisa menemukan kekuatan untuk terus bernyanyi.


Komentar
Posting Komentar