Bakso Terakhir di kampung Cilamaya Wetan
Di kampung Cilamaya Wetan, bakso bukan sekadar makanan, tapi juga alat diplomasi, pengikat cinta, dan kadang-kadang penyebab keributan kecil di pos ronda. Di sanalah tinggal Mang Dudung, penjual bakso keliling yang terkenal karena satu hal: baksonya bulat tidak rata, rasanya misterius, dan kuahnya bisa bikin orang lupa utang.
Mang Dudung berjualan dengan gerobak tua yang sudah dimodifikasi: ada speaker kecil yang memutar lagu dangdut instrumental, ada lampu kelap-kelip yang menyala kalau kuah mendidih, dan ada payung bolong yang katanya “biar angin bisa masuk.” Ia punya slogan: “Bakso Dudung, bikin lidah bingung.”
Suatu hari, Mang Dudung mendapat ide besar: membuat bakso rasa durian. Ia percaya bahwa inovasi adalah kunci sukses, meski tetangganya, Bu Narti, sudah memperingatkan, “Mang, jangan campur buah sama daging. Itu bukan inovasi, itu tantangan iman.”
Tapi Mang Dudung nekat. Ia mencampur daging sapi, tepung, dan sedikit es krim durian. Hasilnya: bakso yang aromanya bisa tercium dari jarak dua RT. Ia mencoba menjualnya di depan balai desa. Pak Darto, pensiunan guru yang punya indra penciuman tajam, langsung berkata, “Ini bakso atau eksperimen kimia?”
Anak-anak kampung penasaran. Beni, bocah SD yang berani mencoba apa saja asal gratis, mencicipi satu butir. Ia diam sejenak, lalu berkata, “Rasanya seperti mimpi buruk yang manis.” Mang Dudung tersenyum bangga. “Itu tandanya sukses.”
Kabar tentang bakso durian menyebar. Wartawan lokal datang, merekam gerobak Mang Dudung, dan menulis artikel berjudul “Bakso Ajaib dari Cilamaya.” Tapi komentar pembaca beragam: ada yang tertarik, ada yang takut, dan ada yang bertanya apakah bakso itu halal secara logika.
Mang Dudung makin percaya diri. Ia membuat varian baru: bakso rasa kopi, bakso rasa kerupuk, dan bakso rasa kenangan mantan. Yang terakhir dibuat dari bumbu yang tidak jelas dan disajikan dengan tatapan kosong.
Suatu malam, Mang Dudung diundang ke acara tujuhbelasan sebagai tamu kehormatan. Ia membawa sepuluh mangkok bakso spesial. Tapi saat disajikan, lampu mati, dan suara orang sendawa terdengar dari arah panggung. Ternyata Pak RW salah makan bakso rasa petai.
Acara berubah jadi lomba tebak rasa. Warga mencicipi satu per satu, mencoba menebak isi bakso. Ada yang bilang rasa sandal, ada yang bilang rasa sinetron, dan ada yang yakin itu rasa kucing tidur. Mang Dudung tertawa, “Itu semua benar. Karena bakso saya tidak punya batas rasa.”
Akhirnya, Mang Dudung mendapat penghargaan dari karang taruna: “Inovator Bakso Paling Membingungkan.” Ia menerima piagam dengan bangga, lalu berkata, “Besok saya akan buat bakso rasa angin.”
Dan di kampung Cilamaya Wetan, bakso bukan lagi soal daging dan kuah. Ia jadi simbol kreativitas, keberanian, dan sedikit kebingungan. Karena di sana, Mang Dudung telah membuktikan bahwa bulatnya bakso tidak harus sempurna, asal bisa bikin orang tertawa, meski setelah makan harus minum teh manis tiga gelas untuk menetralisir rasa.



Komentar
Posting Komentar