Angkat Gelas, Turunkan Ego



Di kampung Cikuruy Hilir, acara minum teh sore hari bukan sekadar pelepas dahaga, tapi juga ajang diplomasi, debat ringan, dan kadang-kadang tempat warga menyusun strategi menghadapi harga cabai. Di sana, tradisi “angkat gelas” sudah mendarah daging. Setiap kali ada kesepakatan, permintaan maaf, atau sekadar ucapan selamat, warga akan mengangkat gelas teh mereka dengan gaya yang kadang lebih dramatis daripada pidato kenegaraan.

Tokoh utama dalam kisah ini adalah Pak Darto, pensiunan guru yang kini menjabat sebagai Ketua Forum Teh Kampung. Ia punya kebiasaan unik: tidak akan menyetujui apapun sebelum gelas diangkat dan mata saling bertemu. “Kalau bicara tanpa angkat gelas, itu namanya bisik-bisik. Kalau angkat gelas, itu namanya pernyataan,” katanya sambil mengaduk teh manis dengan sendok yang sudah bengkok.

Suatu sore, Pak RW mengadakan rapat darurat di warung Bu Narti. Topiknya serius: pagar pos ronda roboh karena ditabrak kambing. Warga berkumpul, teh disajikan, dan Pak Darto langsung berdiri. “Sebelum kita mulai, mari kita angkat gelas. Biar niat kita lurus, meski pagar sudah miring.”

Semua warga mengangkat gelas, kecuali Mas Juki, pemuda kampung yang sibuk merekam untuk konten. “Pak, saya pegang kamera. Kalau saya angkat gelas, nanti gambarnya miring.” Pak Darto menatapnya, lalu berkata, “Kalau niatmu lurus, gelas bisa diangkat pakai hati.”

Bu Jum, penjual jamu, ikut nimbrung. Ia membawa gelas berisi jamu kunyit asem dan berkata, “Saya angkat gelas, meski isinya bukan teh. Yang penting semangatnya.” Pak Darto mengangguk, “Yang penting bukan isi gelas, tapi isi niat.”

Rapat berlangsung. Usulan demi usulan muncul: pagar diganti bambu, pagar diganti spanduk, pagar diganti doa. Tapi setiap kali ada usulan, Pak Darto akan berkata, “Angkat gelas dulu.” Akibatnya, warga mulai kehabisan teh. Bu Narti bolak-balik ke dapur, dan akhirnya berkata, “Kalau terus angkat gelas, saya harus buka cabang warung.”

Suatu saat, terjadi insiden. Pak Udin, yang baru pulang dari sawah, datang terlambat dan langsung duduk tanpa angkat gelas. Pak Darto terdiam, lalu berkata, “Pak Udin, gelasmu belum terangkat. Itu tandanya hatimu masih di lumpur.” Pak Udin bingung, “Saya belum dikasih teh, Pak.” Bu Narti buru-buru menyajikan, dan suasana kembali damai.

Mas Juki mengunggah video berjudul “Angkat Gelas, Turunkan Ego.” Video itu viral, dan kampung sebelah mulai meniru tradisi tersebut. Bahkan ada lomba angkat gelas dengan gaya paling khidmat. Pak Darto jadi juri, dan ia memberi nilai bukan dari tinggi gelas, tapi dari kedalaman tatapan.

Sejak itu, tradisi angkat gelas jadi bagian resmi dari setiap acara kampung: mulai dari syukuran, musyawarah, hingga lomba makan kerupuk. Bahkan saat hujan deras dan acara pindah ke bawah terpal, warga tetap angkat gelas, meski air teh sudah bercampur embun.

Dan di kampung Cikuruy Hilir, angkat gelas bukan lagi soal minum. Ia jadi simbol kebersamaan, pengakuan, dan bukti bahwa dalam hidup, kadang yang perlu diangkat bukan suara, tapi gelas—agar ego bisa turun perlahan, dan tawa bisa naik tanpa batas.

Komentar

Postingan Populer