Allah Tidak Terhijab: Menyingkap Tabir Diri dalam Perjalanan Menuju-Nya
Dalam perjalanan spiritual, banyak orang merasa bahwa Allah jauh, tersembunyi, atau sulit dijangkau. Mereka mencari tanda-tanda, menanti pengalaman batin, atau berharap kehadiran-Nya terasa secara lahiriah. Namun, para arifin mengingatkan bahwa Allah tidak pernah terhijab. Yang terhalang bukanlah Allah, melainkan diri manusia sendiri. Dalam salah satu hikmah yang mendalam, dinyatakan bahwa sekiranya Allah terhijab oleh sesuatu, maka sesuatu itu berarti telah menutupi-Nya. Dan bila ada tutup bagi-Nya, maka tentu wujud-Nya akan terkurung oleh sesuatu tersebut. Dan sesuatu yang mengurung tentu menguasai yang dikurung, padahal Allah Mahakuasa atas semua hamba-Nya.
Pernyataan ini mengandung pelajaran penting tentang hakikat kehadiran Allah dan posisi manusia dalam menyaksikan-Nya. Allah adalah Al-Haqq, Yang Maha Nyata, Yang Maha Hadir, dan Yang tidak terikat oleh ruang, waktu, atau batasan makhluk. Ia tidak tersembunyi, tidak jauh, dan tidak memerlukan perantara untuk hadir. Keberadaan-Nya meliputi segala sesuatu, dan cahaya-Nya menerangi segala yang ada. Maka, jika seseorang merasa tidak melihat-Nya, bukan karena Allah tidak hadir, tetapi karena dirinya belum mampu menyaksikan.
Hijab yang menghalangi manusia dari melihat Allah bukanlah hijab luar, tetapi hijab batin. Ia bisa berupa nafsu, ambisi dunia, kesombongan, kelalaian, atau keterikatan pada makhluk. Semua itu menutupi mata hati, mengaburkan pandangan ruhani, dan menjauhkan jiwa dari penyaksian. Ketika hati dipenuhi oleh selain Allah, maka cahaya-Nya tidak bisa masuk. Ketika jiwa sibuk dengan urusan dunia, maka kehadiran-Nya tidak terasa. Maka, tugas utama seorang hamba bukanlah mencari Allah di luar, tetapi menyingkap hijab dalam diri agar bisa menyaksikan-Nya.
Pernyataan bahwa jika Allah terhijab, maka Ia akan terkurung, dan jika terkurung maka Ia dikuasai, adalah penegasan bahwa Allah tidak mungkin dibatasi oleh apa pun. Ia tidak bisa ditutupi, tidak bisa disembunyikan, dan tidak bisa dikendalikan. Segala sesuatu berada dalam genggaman-Nya, dan tidak ada satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Maka, anggapan bahwa Allah tersembunyi adalah kekeliruan yang lahir dari ketidaktahuan atau kelalaian. Yang tersembunyi bukanlah Allah, tetapi kesadaran manusia terhadap kehadiran-Nya.
Dalam kehidupan spiritual, menyadari bahwa Allah tidak terhijab adalah langkah awal menuju makrifat. Ia mengubah cara pandang, mengubah arah pencarian, dan mengubah sikap batin. Seorang hamba tidak lagi mencari Allah di luar, tetapi mulai menyelami dirinya sendiri. Ia tidak lagi menunggu tanda-tanda lahiriah, tetapi mulai membersihkan hati dari hijab-hijab batin. Ia tidak lagi merasa jauh, tetapi mulai merasakan kedekatan yang hakiki. Dan dalam proses itu, ia akan menemukan bahwa Allah selalu hadir, selalu dekat, dan selalu menyinari.
Kesadaran ini juga melahirkan sikap tawadhu dan tanggung jawab. Seorang hamba yang tahu bahwa dirinya yang terhijab, bukan Allah, akan lebih giat memperbaiki diri. Ia tidak akan menyalahkan keadaan, tidak akan menuntut pengalaman spiritual yang luar biasa, dan tidak akan merasa cukup dengan ibadah lahiriah. Ia akan terus membersihkan hati, memperbaiki niat, dan memperdalam dzikir. Ia akan menjadikan setiap detik sebagai ladang penyaksian, dan setiap keadaan sebagai pintu menuju kedekatan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kesadaran bahwa Allah tidak terhijab bisa diwujudkan dalam sikap hadir sepenuhnya. Ketika berbicara, ia sadar bahwa Allah mendengar. Ketika diam, ia sadar bahwa Allah mengetahui. Ketika bergerak, ia sadar bahwa Allah menyaksikan. Ia tidak menunggu momen khusus untuk merasa dekat, karena setiap momen adalah kesempatan untuk menyaksikan. Ia tidak menunggu suasana tertentu untuk merasakan kehadiran, karena Allah hadir dalam segala suasana.
Inilah hikmah yang perlu direnungi oleh setiap jiwa yang ingin berjalan menuju Tuhan. Jangan mencari Allah di luar, karena Ia tidak pernah jauh. Jangan menunggu tanda-tanda, karena Ia tidak pernah tersembunyi. Yang perlu dilakukan adalah menyingkap hijab dalam diri, membersihkan hati, dan membuka mata ruhani. Karena Allah tidak terhijab, dan dalam penyaksian itulah, seorang hamba menemukan kedamaian, ketenangan, dan cinta yang tak terbatas kepada Sang Maha Hadir.



Komentar
Posting Komentar