Ajengan Keliling dan Kitab yang Tertukar
Di kampung Cibodas Girang, ajengan adalah sosok yang dihormati, ditakuti, dan kadang-kadang dijadikan juru damai saat rebutan mic karaoke. Di sana tinggal Ajengan Salim, ulama kampung yang dikenal bukan hanya karena ilmunya, tapi juga karena kebiasaannya yang unik: selalu membawa tiga kitab ke mana pun, meski satu di antaranya ternyata buku resep kue.
Ajengan Salim punya jadwal keliling kampung setiap hari Jumat. Ia naik sepeda tua yang diberi nama “Al-Barakah,” lengkap dengan keranjang depan berisi kitab, sarung cadangan, dan satu botol minyak kayu putih. Ia akan berhenti di warung, pos ronda, bahkan di pinggir sawah, lalu memberi nasihat sambil duduk di atas tikar yang sudah bolong di tiga sudut.
Suatu hari, Ajengan Salim diundang ke acara pengajian akbar di balai desa. Ia diminta memberi ceramah tentang akhlak dan kesabaran. Warga antusias. Bu Narti sudah menyiapkan teh manis, Pak Darto membawa kipas tangan, dan Mas Juki, pemuda kampung yang hobi bikin video, siap merekam untuk konten “Ajengan Bicara, Warga Terdiam.”
Ajengan Salim datang dengan semangat. Ia membuka kitab, lalu mulai membaca. Tapi setelah dua menit, wajahnya berubah bingung. Ia membaca:
“Campurkan tepung terigu, gula pasir, dan telur. Aduk rata, lalu panggang selama dua puluh menit.”
Warga terdiam. Pak RW berbisik, “Ajengan, itu bukan ayat, itu resep bolu.”
Ajengan Salim tertawa kecil. “Maaf, kitab saya tertukar. Ini kitab ‘Bolu Berkah’ yang saya pinjam dari Bu Jum.”
Bu Jum, penjual kue kampung, langsung berdiri. “Itu memang kitab saya, Ajengan. Tapi kalau mau ceramah sambil bikin bolu, saya siap bantu.”
Ceramah dilanjutkan. Kali ini Ajengan Salim membuka kitab yang benar. Ia bicara tentang sabar, ikhlas, dan pentingnya menjaga lisan. Tapi di tengah ceramah, seekor ayam masuk ke balai desa dan duduk di bawah meja. Ajengan Salim berhenti sejenak, lalu berkata, “Lihat, bahkan ayam pun ingin mendengar ilmu.”
Pak Darto mengangguk. “Atau mungkin dia cuma cari remah gorengan.”
Setelah ceramah selesai, warga mengajukan pertanyaan. Beni, bocah SD, bertanya, “Ajengan, kalau saya sabar tapi tetap lapar, itu namanya apa?”
Ajengan Salim menjawab, “Itu namanya ujian. Tapi kalau sabar sambil makan, itu namanya nikmat.”
Bu Narti bertanya, “Ajengan, bagaimana cara menghadapi tetangga yang suka nyetel lagu dangdut jam dua pagi?”
Ajengan Salim tersenyum. “Doakan dia. Mungkin hatinya sedang galau. Atau kirimkan earplug sebagai sedekah.”
Mas Juki bertanya, “Ajengan, bolehkah saya bikin konten dakwah sambil naik sepeda?”
Ajengan Salim menjawab, “Boleh, asal tidak sambil ngebut. Dakwah itu pelan tapi sampai.”
Sejak itu, Ajengan Salim makin terkenal. Ia dijuluki “Ajengan Keliling,” dan kitab bolu milik Bu Jum malah ikut viral. Warga mulai menggabungkan pengajian dengan demo masak, dan setiap ceramah selalu diakhiri dengan makan bersama.
Dan di kampung Cibodas Girang, ajengan bukan hanya guru agama. Ia jadi sahabat, penghibur, dan kadang-kadang juru rasa. Karena di sana, ilmu bisa datang dari kitab, dari tawa, dan dari bolu yang tak sengaja dibaca di tengah ceramah.



Komentar
Posting Komentar