Siang Bolong di Warung Bu Sarmi
Siang itu, matahari bersinar seperti sedang pamer kekuatan. Panasnya bukan main, sampai genteng rumah Pak Darto yang sudah tua itu mengeluh dalam diam. Di tengah terik yang membakar ubun-ubun, Warung Bu Sarmi tetap jadi tempat favorit warga kampung Karangjati untuk ngumpul, ngopi, dan tentu saja, bergosip.
Bu Sarmi, pemilik warung, terkenal bukan hanya karena gorengan renyahnya, tapi juga karena kemampuan luar biasanya dalam mendeteksi siapa yang belum bayar utang. Konon katanya, ia bisa mencium aroma utang dari jarak dua meter.
Hari itu, datanglah Mas Gimin, pemuda kampung yang punya cita-cita jadi seleb TikTok, meski followers-nya baru lima, itu pun termasuk akun ibunya dan dua kucing peliharaan. Mas Gimin masuk warung dengan gaya sok artis: kacamata hitam, kaos ketat, dan celana jeans robek yang lebih mirip digigit kambing.
“Bu Sarmi, kopi satu. Gorengan dua. Tapi bayarnya nanti ya, saya lagi nunggu endorse,” katanya sambil duduk dengan gaya miring yang entah kenapa selalu bikin kursi warung goyang.
Bu Sarmi hanya melirik tajam. “Endorse dari siapa, Min? Dari Pak RT?”
Mas Gimin tertawa kering. “Enggak, Bu. Dari akun jualan sandal. Katanya kalau saya bisa joget pakai sandal mereka, bakal dikasih diskon.”
Belum sempat Bu Sarmi membalas, datanglah Pak Darto, pensiunan guru SD yang sekarang sibuk jadi komentator segala hal. Ia duduk sambil membawa kipas tangan, lalu mulai ceramah soal cuaca.
“Ini panas bukan biasa. Dulu waktu saya masih muda, siang begini bisa buat jemur cucian, sekarang bisa buat goreng telur di aspal,” katanya sambil mengipasi diri.
Mas Gimin langsung menyambar, “Pak Darto, kalau telur digoreng di aspal, nanti jadi telur jalanan dong.”
Pak Darto menghela napas panjang, lalu memutuskan untuk fokus pada tahu isi Bu Sarmi yang katanya bisa bikin orang lupa mantan.
Tak lama kemudian, datang Mbak Rini, janda muda yang baru pindah dari kota. Ia membawa tas belanja dan wajah bingung.
“Bu Sarmi, saya mau beli garam, tapi kok di sini garamnya ada dua jenis: garam biasa dan garam buat nyindir tetangga. Bedanya apa?”
Bu Sarmi menjawab santai, “Garam nyindir tetangga itu biasanya ditabur sambil ngomong, ‘Wah, rumah sebelah kok makin sepi ya, padahal katanya baru beli kulkas dua pintu.’”
Mbak Rini tertawa, lalu memilih garam biasa, takut nanti tetangganya tersinggung dan balas nyindir pakai mic karaoke.
Di tengah keramaian itu, datanglah Udin, bocah SD yang terkenal jenius tapi suka ngelantur. Ia masuk warung sambil membawa ember.
“Bu Sarmi, saya mau beli es batu. Embernya udah siap.”
Bu Sarmi heran, “Buat apa, Din?”
“Buat eksperimen, Bu. Saya mau tahu, kalau es batu ditaruh di bawah kipas angin, bisa jadi hujan nggak?”
Semua orang di warung terdiam. Pak Darto mulai menghitung kemungkinan ilmiah, Mas Gimin mulai cari angle bagus buat video, dan Bu Sarmi mulai curiga kalau Udin ini calon ilmuwan atau calon tukang sulap.
Siang itu, warung Bu Sarmi jadi panggung komedi tanpa skrip. Di bawah terik matahari, orang-orang berkumpul bukan cuma buat ngopi, tapi buat tertawa, saling sindir, dan tentu saja, menikmati gorengan yang entah kenapa selalu habis sebelum jam tiga.
Dan ketika matahari mulai condong ke barat, Bu Sarmi menutup warung sambil bergumam, “Siang bolong begini, kalau nggak ada orang-orang lucu, bisa-bisa saya jualan es batu rasa galau.”



Komentar
Posting Komentar