Ridha terhadap Diri: Akar dari Kelalaian atau Jalan Menuju Kesadaran
"Asal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah karena ridha terhadap diri sendiri. Dan asal segala ketaatan, kesadaran, dan penjagaan adalah karena tidak ridha terhadap diri sendiri."
Kata-kata ini mengandung kedalaman spiritual yang luar biasa. Ia tidak sekadar menyentuh perilaku lahiriah, tetapi menyingkap akar psikologis dan ruhani dari tindakan manusia. Di balik setiap maksiat, kelalaian, dan dorongan syahwat, tersembunyi satu sikap batin: ridha terhadap diri sendiri. Sebaliknya, di balik setiap ketaatan, kesadaran, dan penjagaan, terdapat sikap tidak ridha terhadap diri sendiri.
Ridha terhadap diri sendiri di sini bukanlah bentuk penerimaan yang sehat, melainkan kepuasan yang menutup pintu perbaikan. Ketika seseorang merasa cukup, merasa benar, merasa aman dengan dirinya sendiri, maka ia cenderung lengah. Ia tidak lagi mengawasi niat, tidak lagi mempertanyakan arah langkahnya, dan tidak lagi merasa perlu untuk berubah. Dari sinilah kelalaian tumbuh. Syahwat pun menemukan ruang untuk berbisik, dan maksiat menjadi sesuatu yang mudah dilakukan karena tidak ada benteng introspeksi.
Sebaliknya, tidak ridha terhadap diri sendiri adalah sikap batin yang penuh kesadaran. Ia bukan bentuk kebencian terhadap diri, melainkan pengakuan jujur bahwa diri ini belum selesai. Bahwa masih ada ruang untuk diperbaiki, masih ada sisi yang gelap, masih ada potensi tergelincir. Sikap ini melahirkan penjagaan. Ia membuat seseorang lebih berhati-hati, lebih tunduk, lebih terbuka terhadap nasihat dan bimbingan. Ia menjadi sumber ketaatan, karena seseorang yang sadar akan kelemahan dirinya akan lebih mudah bersandar kepada kekuatan Ilahi.
Dalam tradisi tasawuf, sikap tidak ridha terhadap diri adalah pintu awal menuju tajrid—melepaskan diri dari ketergantungan pada kemampuan pribadi dan menyerahkan urusan kepada Allah. Ia juga berkaitan erat dengan himmah, dorongan ruhani yang kuat untuk terus mendekat kepada Tuhan. Orang yang tidak ridha terhadap dirinya akan terus mencari, terus belajar, dan terus memperbaiki. Ia tidak terjebak dalam pencitraan, tidak tenggelam dalam pujian, dan tidak silau oleh capaian lahiriah.
Namun, keseimbangan tetap diperlukan. Tidak ridha terhadap diri bukan berarti membenci diri atau tenggelam dalam rasa bersalah yang destruktif. Ia harus dibarengi dengan rahmah—kasih sayang terhadap diri sendiri. Karena hanya dengan kasih sayang, seseorang bisa bertahan dalam perjalanan panjang menuju kesempurnaan ruhani. Ia harus tahu bahwa kekurangan bukan untuk disesali tanpa akhir, tetapi untuk dikenali dan dijadikan bahan bakar perubahan.
Kutipan ini mengajarkan bahwa akar dari segala perilaku bukanlah sekadar pilihan sadar, tetapi kondisi batin yang lebih dalam. Ia mengajak kita untuk jujur terhadap diri sendiri, untuk tidak cepat merasa cukup, dan untuk terus menjaga kesadaran. Karena dalam dunia yang penuh godaan dan distraksi, hanya mereka yang tidak ridha terhadap dirinya yang mampu bertahan dalam cahaya penjagaan.


Komentar
Posting Komentar