Prinsip Utilitas sebagai Landasan Legislasi yang Berorientasi pada Kebaikan Publik
Tujuan utama dari seorang legislator adalah untuk mewujudkan kebaikan publik. Dalam menjalankan tugasnya, seorang pembuat undang-undang dapat mendasarkan pertimbangannya pada asas utilitas umum. Prinsip ini menekankan bahwa setiap tindakan atau kebijakan harus dinilai berdasarkan sejauh mana ia mampu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan masyarakat. Dengan kata lain, legislasi yang baik adalah legislasi yang memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Jeremy Bentham, sebagai pelopor pemikiran utilitarianisme, menegaskan bahwa tugas seorang legislator tidak hanya bersifat teknis atau administratif, tetapi juga filosofis dan moral. Ia menyatakan bahwa seorang legislator harus melakukan kajian mendalam terhadap dua konsep mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu kesenangan dan penderitaan. Kedua konsep ini menjadi tolok ukur dalam menilai dampak dari setiap kebijakan atau tindakan hukum. Legislasi yang ideal adalah yang mampu memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan bagi individu maupun masyarakat secara kolektif.
Istilah “utilitas” dalam konteks ini merujuk pada kecenderungan atau kemampuan suatu hal untuk mencegah kejahatan atau menghasilkan kebaikan. Dengan demikian, utilitas bukan hanya sekadar ukuran manfaat praktis, tetapi juga mencerminkan nilai moral dari suatu tindakan atau kebijakan. Prinsip utilitas menyatakan bahwa setiap tindakan dapat disetujui atau ditolak berdasarkan kecenderungannya untuk meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan. Ini berarti bahwa hukum dan kebijakan publik harus dievaluasi secara objektif berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan manusia.
Segala sesuatu yang sesuai dengan prinsip utilitas akan membawa kebahagiaan bagi individu. Oleh karena itu, legislasi yang berlandaskan pada prinsip ini akan lebih mampu menjawab kebutuhan masyarakat secara nyata dan relevan. Dalam praktiknya, hal ini menuntut para legislator untuk bersikap bijak, terbuka terhadap data dan fakta, serta sensitif terhadap kondisi sosial yang berkembang. Mereka harus mampu menimbang berbagai alternatif kebijakan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesejahteraan publik.
Prinsip utilitas juga mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil dan rasional. Ia menolak pendekatan hukum yang bersifat dogmatis atau semata-mata berdasarkan tradisi, dan sebaliknya menekankan pentingnya evaluasi berdasarkan hasil nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam kerangka ini, hukum menjadi alat untuk mencapai tujuan moral yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan bersama.
Dengan menjadikan utilitas sebagai landasan legislasi, para pembuat kebijakan diharapkan mampu merumuskan hukum yang tidak hanya sah secara formal, tetapi juga bermakna secara substansial. Mereka dituntut untuk berpikir secara holistik, mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan manusia, dan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Legislasi yang demikian akan mencerminkan komitmen terhadap keadilan sosial, kemanusiaan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Pemikiran ini tetap relevan dalam konteks modern, di mana kompleksitas masalah sosial menuntut pendekatan hukum yang adaptif dan berorientasi pada hasil. Prinsip utilitas memberikan kerangka kerja yang jelas dan terukur bagi para legislator dalam merancang kebijakan yang efektif dan berkeadilan. Ia mengingatkan kita bahwa hukum bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik bagi semua.


Komentar
Posting Komentar