Menjaga Akar dan Menghormati Waktu: Dua Pilar Kehidupan dalam Kearifan Sunda


"Ulah hilap kana asal, sabab didinya aya akar kahirupan. Ulah leungit ku waktu, sabab waktu téh guru nu teu nyarita."

Kutipan ini mengandung dua pesan mendalam yang saling melengkapi: pentingnya mengenali asal-usul dan urgensi untuk menghargai waktu. Dalam tradisi Sunda yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal, kata-kata ini bukan sekadar nasihat, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup yang mengakar kuat dalam budaya masyarakatnya.

Bagian pertama, “Ulah hilap kana asal, sabab didinya aya akar kahirupan,” mengajak kita untuk tidak melupakan asal-usul. Asal di sini bisa dimaknai sebagai tempat lahir, keluarga, budaya, nilai-nilai, bahkan spiritualitas yang membentuk identitas seseorang. Dalam dunia yang semakin cepat dan global, banyak orang yang terlepas dari akarnya, merasa asing terhadap jati dirinya sendiri. Padahal, akar adalah sumber kekuatan. Ia adalah fondasi yang menopang pertumbuhan, arah, dan makna hidup.

Melupakan asal berarti kehilangan arah. Ketika seseorang tidak lagi mengenali siapa dirinya, dari mana ia datang, dan nilai apa yang membentuknya, maka ia mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar. Ia menjadi rapuh, mudah goyah, dan kehilangan pijakan. Sebaliknya, mengenali dan menghormati asal adalah bentuk penghargaan terhadap sejarah pribadi dan kolektif. Ia menjadi sumber kebijaksanaan, tempat kembali saat tersesat, dan cahaya yang menuntun langkah ke depan.

Bagian kedua dari kutipan, “Ulah leungit ku waktu, sabab waktu téh guru nu teu nyarita,” adalah pengingat tentang waktu sebagai guru yang diam. Waktu tidak pernah berbicara, tetapi ia mengajarkan segalanya. Ia mengajarkan tentang kehilangan, tentang pertumbuhan, tentang perubahan, dan tentang keteguhan. Waktu tidak bisa dihentikan, tidak bisa dipercepat, dan tidak bisa diulang. Maka, siapa yang lalai terhadap waktu, akan kehilangan pelajaran paling berharga dalam hidup.

Dalam kehidupan modern, waktu sering kali diperlakukan sebagai alat produksi, sebagai angka dalam jadwal, atau sebagai beban yang harus dikejar. Padahal, waktu adalah ruang untuk belajar, untuk merenung, dan untuk bertumbuh. Ia tidak bersuara, tetapi setiap detiknya membawa pesan. Ketika seseorang menyia-nyiakan waktu, ia sedang menolak pelajaran yang paling jujur dan paling konsisten dalam hidupnya.

Kutipan ini mengajarkan keseimbangan antara menghargai masa lalu dan memanfaatkan masa kini. Ia mengajak untuk tidak melupakan akar, tetapi juga tidak terjebak dalam nostalgia. Ia mendorong untuk menghormati waktu, tetapi juga tidak terburu-buru. Dalam akar ada kekuatan, dalam waktu ada pelajaran. Keduanya adalah pilar yang menopang kehidupan yang bermakna.

Dalam konteks spiritual, mengenali asal juga berarti mengenali asal penciptaan. Bahwa manusia berasal dari Tuhan, dan akan kembali kepada-Nya. Maka, hidup bukan hanya soal bergerak maju, tetapi juga soal kembali. Waktu menjadi jalan yang mengantar kita pulang, dan asal menjadi penanda arah agar kita tidak tersesat.

Kearifan dalam kutipan ini sangat relevan untuk semua generasi. Ia mengajak untuk hidup dengan kesadaran, dengan penghormatan terhadap sejarah, dan dengan penghargaan terhadap waktu. Karena hanya dengan mengenali akar dan menghormati waktu, seseorang bisa menjalani hidup dengan utuh, tidak tercerabut, dan tidak terbuang.

Komentar

Postingan Populer