Keberatan terhadap Prinsip Utilitas dalam Legislasi

Prinsip utilitas, yang menempatkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak sebagai tujuan utama hukum, telah menjadi landasan penting dalam filsafat hukum modern. Namun, prinsip ini tidak luput dari berbagai keberatan yang muncul dari sudut pandang moral, agama, dan politik. Keberatan-keberatan tersebut mencerminkan kompleksitas dalam menilai nilai suatu tindakan atau kebijakan, serta menunjukkan bahwa penerapan prinsip utilitas tidak selalu berjalan tanpa tantangan.

Salah satu keberatan utama terhadap prinsip utilitas adalah sifatnya yang subjektif. Apa yang dianggap berguna atau membawa kebahagiaan dapat berbeda-beda bagi setiap individu. Penilaian terhadap utilitas sangat bergantung pada pengalaman, nilai, dan kepentingan pribadi. Akibatnya, prinsip ini dianggap kehilangan kekuatan normatifnya karena tidak memberikan standar yang tetap dan universal. Ketika setiap orang memiliki definisi sendiri tentang apa yang berguna, maka hukum yang didasarkan pada prinsip ini bisa menjadi tidak konsisten dan sulit diterapkan secara adil.

Keberatan lainnya datang dari sudut pandang agama. Dalam pandangan religius, konsep tentang kebaikan dan kejahatan bukanlah sesuatu yang dapat ditentukan oleh manusia semata, melainkan merupakan hak prerogatif Tuhan. Oleh karena itu, prinsip utilitas dianggap bertentangan dengan ajaran agama yang menempatkan kehendak ilahi sebagai sumber utama moralitas. Hukum yang hanya didasarkan pada pertimbangan manfaat duniawi dianggap mengabaikan dimensi spiritual dan nilai-nilai transenden yang menjadi inti dari kehidupan beragama.

Selain itu, tidak semua hal yang berguna secara praktis dapat dikatakan adil dan jujur. Sesuatu yang memberikan manfaat bagi banyak orang belum tentu sesuai dengan prinsip keadilan atau kejujuran. Misalnya, suatu kebijakan yang mengorbankan hak minoritas demi kepentingan mayoritas mungkin dianggap berguna dalam kerangka utilitarian, tetapi secara moral dapat dipandang sebagai bentuk ketidakadilan. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip utilitas tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai etika yang lebih dalam, seperti martabat manusia, hak asasi, dan integritas moral.

Perbedaan antara tujuan moral yang baik dan tujuan politik juga menjadi sumber keberatan terhadap prinsip utilitas. Moralitas bertujuan untuk membentuk individu yang berkarakter, berintegritas, dan bertanggung jawab, sementara politik sering kali berorientasi pada efisiensi, stabilitas, dan kepentingan kolektif. Ketika hukum terlalu berfokus pada utilitas, ia berisiko mengabaikan pembentukan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Hukum yang hanya mengejar hasil tanpa memperhatikan proses dan prinsip-prinsip etis dapat merusak fondasi moral bangsa.

Prinsip utilitas juga dinilai dapat mendorong oportunisme dalam masyarakat. Ketika manfaat menjadi satu-satunya ukuran kebaikan, individu atau kelompok mungkin terdorong untuk mengejar keuntungan pribadi dengan mengorbankan nilai-nilai moral. Dalam konteks ini, hukum tidak lagi menjadi alat untuk membentuk karakter dan keadilan, melainkan menjadi sarana untuk mencapai tujuan pragmatis. Hal ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap hukum dan menciptakan budaya yang mengutamakan hasil di atas prinsip.

Keberatan-keberatan tersebut menunjukkan bahwa meskipun prinsip utilitas memiliki daya tarik dalam hal efisiensi dan kesejahteraan kolektif, ia tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar dalam pembentukan hukum. Legislasi yang baik harus mampu menyeimbangkan antara manfaat praktis dan nilai-nilai moral yang mendalam. Ia harus mempertimbangkan kompleksitas manusia sebagai makhluk yang tidak hanya mengejar kebahagiaan, tetapi juga menjunjung tinggi keadilan, kebenaran, dan spiritualitas. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi sebagai alat transformasi sosial yang tidak hanya efektif, tetapi juga bermartabat.

Komentar

Postingan Populer