Bashirah yang Tertutup: Ketika Kesungguhan Tersesat dan Tuntutan Terabaikan
"Kesungguhanmu mengejar apa yang telah dijamin untukmu, dan kelalaianmu terhadap apa yang dituntut darimu, adalah tanda butanya bashirah (mata batin).”
Kutipan ini berasal dari salah satu hikmah yang paling tajam dalam tradisi tasawuf. Ia tidak hanya mengkritik perilaku lahiriah, tetapi juga membongkar struktur batin yang sering kali luput dari perhatian. Di balik kesibukan manusia dalam mengejar dunia, tersembunyi paradoks spiritual yang menyedihkan: bersungguh-sungguh dalam hal yang sudah dijamin oleh Tuhan, namun lalai dalam hal yang justru menjadi tanggung jawab ruhani.
Apa yang telah dijamin? Rezeki, umur, takdir, bahkan kematian. Semua itu telah ditetapkan oleh Tuhan dan tidak akan meleset dari waktunya. Namun, manusia sering kali menghabiskan seluruh tenaganya untuk mengejar hal-hal tersebut, seolah-olah keberhasilannya bergantung sepenuhnya pada usaha lahiriah. Ia lupa bahwa ada wilayah yang sudah ditanggung oleh Tuhan, dan bahwa kesungguhan yang berlebihan di sana bisa menjadi bentuk kelalaian terhadap wilayah yang lebih penting: ketaatan, keikhlasan, ibadah, penjagaan hati, dan pengabdian.
Sementara itu, apa yang dituntut dari manusia? Tanggung jawab moral dan spiritual. Menjaga niat, memperbaiki akhlak, menunaikan kewajiban ibadah, menahan diri dari maksiat, dan menyucikan hati dari penyakit-penyakit batin. Semua ini adalah tuntutan yang tidak bisa diwakilkan dan tidak dijamin akan terjadi tanpa kesungguhan. Namun, justru di sinilah banyak manusia lalai. Ia merasa cukup dengan amal lahiriah, tetapi lupa menghidupkan mata batin yang mampu membedakan antara yang penting dan yang mendesak.
Kebutaan bashirah bukanlah kebutaan fisik, melainkan ketidakmampuan untuk melihat dengan hati. Ia adalah kondisi di mana seseorang tidak lagi mampu membedakan antara yang hakiki dan yang semu, antara yang sementara dan yang abadi, antara yang dijamin dan yang dituntut. Ketika bashirah tertutup, seseorang bisa merasa sibuk dalam kebaikan, padahal ia sedang menjauh dari kebenaran. Ia bisa merasa berhasil secara duniawi, padahal ia sedang kehilangan arah secara ruhani.
Kutipan ini mengajak kita untuk menata ulang prioritas batin. Bahwa kesungguhan harus diarahkan pada hal-hal yang menjadi amanah spiritual, bukan semata-mata pada hal-hal yang sudah dijamin. Bahwa kelalaian terhadap tuntutan Ilahi adalah tanda bahwa mata hati kita sedang tertutup. Dan bahwa perjalanan menuju Tuhan bukanlah soal seberapa banyak kita memiliki, tetapi seberapa jernih kita melihat.
Dalam kehidupan modern yang penuh dengan target, ambisi, dan pencapaian, pesan ini menjadi sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa tidak semua kesibukan adalah keberkahan, dan tidak semua pencapaian adalah kemajuan. Kadang, justru dalam kesederhanaan dan kesadaran, seseorang menemukan kedalaman makna hidup. Dan hanya dengan bashirah yang terbuka, seseorang bisa berjalan di jalan yang lurus, meski dunia di sekelilingnya penuh dengan kebisingan.


Komentar
Posting Komentar