Antara Tajrid dan Asbab: Menemukan Keseimbangan Spiritual dalam Jalan Hidup
Dalam perjalanan spiritual, sering kali kita dihadapkan pada dua kutub yang tampak bertentangan: tajrid dan asbab. Tajrid adalah kondisi batin yang melepaskan diri dari ketergantungan duniawi, termasuk dalam hal mencari rezeki, sementara asbab adalah jalan usaha yang Allah tetapkan sebagai sarana kehidupan. Keduanya bukanlah pilihan mutlak, melainkan panggilan yang berbeda sesuai dengan maqam (kedudukan) ruhani seseorang.
Bisikan Halus yang Menyesatkan
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam menyampaikan peringatan yang halus namun tegas:
“Keinginanmu untuk tajrid padahal Allah telah menetapkanmu pada asbab adalah termasuk dalam bisikan syahwat yang samar.”
Ini adalah pengingat bahwa keinginan untuk meninggalkan dunia, jika tidak sesuai dengan maqam yang Allah tetapkan, bisa jadi bukan dorongan spiritual murni, melainkan bentuk lain dari ego yang terselubung. Kadang kita merasa bahwa menjauh dari dunia adalah bentuk kesalehan, padahal Allah telah menempatkan kita dalam peran aktif di tengah masyarakat, dengan tanggung jawab dan usaha yang harus dijalankan.
Himmah yang Luhur dan Kemerosotannya
Sebaliknya, Ibnu ‘Athaillah juga menegaskan:
“Keinginanmu untuk melakukan asbab padahal Allah telah menempatkanmu pada kedudukan tajrid adalah suatu kemerosotan dari himmah (tekad spiritual yang luhur).”
Artinya, jika seseorang telah diberi maqam tajrid—misalnya hidup dalam zuhud, atau dalam kondisi yang memungkinkan untuk fokus penuh kepada Allah—namun ia tergoda untuk kembali mengejar dunia, maka itu adalah penurunan dari tekad spiritualnya. Ia telah berpaling dari panggilan ruhani yang lebih tinggi demi sesuatu yang lebih rendah.
Keseimbangan dan Kepasrahan
Pesan utama dari hikmah ini adalah pentingnya mengenali maqam diri. Tidak semua orang ditakdirkan untuk hidup dalam tajrid, dan tidak semua orang harus terus-menerus berada dalam asbab. Yang terpenting adalah menerima dengan lapang dada posisi yang Allah tetapkan, dan menjalani peran itu dengan ikhlas dan penuh kesadaran.
- Jika engkau berada dalam dunia usaha dan tanggung jawab, jalani itu sebagai bentuk ibadah.
- Jika engkau diberi kesempatan untuk hidup dalam kesederhanaan dan fokus kepada Allah, jangan tergoda untuk kembali mengejar dunia.
Keseimbangan spiritual bukanlah soal memilih antara dunia dan akhirat, tapi tentang taat kepada penempatan Allah dalam hidup kita.
Penutup: Jalan yang Ditetapkan
Dalam dunia yang penuh distraksi dan ambisi, hikmah ini mengajak kita untuk kembali bertanya: Apakah aku sedang menjalani maqam yang Allah tetapkan, atau sedang mengikuti bisikan halus dari syahwat yang tersamar?
Menemukan jawabannya adalah langkah awal menuju ketenangan, keikhlasan, dan kemuliaan jiwa.



Komentar
Posting Komentar